Sekeping Logam Cinta

Sekeping Logam Cinta

 
Ilustrasi  dari Female
Semilir angin yang berembus lembut melewati  jendela kamar, sedikit menyejukkan perasaan Rosi. Sejak istirahat pertama di sekolah tadi perasaannya sedikit terkoyak, gara-gara sekeping uang logam yang ditemukannya saat menuju kantin.
“Keping logam tahun berapa?” tanya Lala, sahabatnya yang berjalan beriringan dengannya.
Dengan sedikit penasaran, Rosi melihatnya. Habis, ngapain juga Lala tanya kayak begitu. “Tahun 1980,” jawabnya.
Tiba-tiba, lala menjentikkan jemarinya, “Hebat!” katanya, “Ini benar-benar hari keberuntunganmu!” lanjutnya antusias.
Rosi menyipitkan matanya, “Maksud kamu apa, sih?”
“O, rupanya Cinderella kita memang kuper, ya!”
Saking kerasnya suara Lala, berpasang-pasang mata yang sudah nongkrong di kantin terbelalak, membuat  raut wajah Rosi bersemu merah.
Sebelum melanjutkan obrolan, mereka memilih tempat duduk di pojok kantin. Pojok itu oleh mereka lebih sering disebut cafe, lantaran suasananya memang mirip cafe. Kata kepala sekolah sih, biar para siswa betah di sekolah.
“Begini Ros, kata orang jepang, jika seseorang menemukan uang logam yang tahun pembuatannya sama dengan tahun kelahirannya, di hari ulang tahunnya, tiga permintaannya akan dikabulkan,” jelas Lala, usai meneguk es teh pesanannya.
Semalam, Rosi memang baru merayakan ulang tahunnya yang keenam belas.
Rosi tersenyum, “kamu ini ada-ada saja. itu kan hanya mitos,” ujarnya.
“Eh, jangan sembarangan ngomong, gini-gini aku pernah mengalaminya,” Lala tetap ngotot, “Waktu itu, aku masih sepuluh tahun. Aku lagi jalan-jalan di atas salju, tiba-tiba di depanku tergeletak  uang logam yang bersinar diterpa mentari pagi. Kamu tahu kan, sejak kecil sampai kelas enam SD aku tinggal di Jepang,” Lala menarik nafas sejenak.
“Terus, gimana?” ternyata, Rosi penasaran juga.
“Begitu aku pungut tuh, uang, Usagi, sahabat yang selalu menemaniku disana, merebut uang tersebut. Aku terbelalak dong, soalnya kaget banget. Aku pikir ngapain pakai ngerebut segala. Kalau dia minta pun akan aku kasih,” dia menarik nafas sejenak, “Eh, tidak tahunya dia mau lihat tahun pembuatannya. Dia bilang, itu hari ulang tahunku yang paling beruntung. Soalnya, Tuhan akan mengabulkan tiga permintaan kita setelah menemukan uang tersebut,” lanjut gadis manis berambut spiral yang belum mau pakai make up itu.
“Kau percaya?”
“Tadinya aku tidak percaya, tapi setelah membuktikannya aku jadi percaya,” usai berkata begitu, Lala mengambil risoles yang ada di depannya, lalu memakannya dengan pelan.
Rosi ikut-ikutan mengambil risoles, “Apa yang kamu minta waktu itu?” tanyanya sebelum memakan Risoles.
“Pertama, aku minta agar hari itu matahari bercahaya dengan sempurna. Tanpa disangka-sangka, permintaanku itu dikabulkan.”
“Permintaan kedua?”
“Aku minta hadiah bunga sakura dari mama, juga dikabulkan. Karena, begitu aku pulang dari situ, di kamarku telah dihiasi beberapa tangkai bunga sakura.”
“Permintaan ketiga?”
“Waktu itu aku bingung. Usagi bilang, aku harus meminta agar nilai-nilai ulanganku selalu the best. Tapi, aku nggak mau. Sampai akhirnya aku bertengkar.
“Lucu. Harusnya kamu minta Usagi diberi Tuhan sifat tidak pernah marah,” canda gadis manis yang pendiam itu.
“Tadinya memang mau begitu. Tapi, setelah tanya mama, mama bilang, mengapa tidak minta sahabat sejati saja. ide itu memang ces pleng. Beberapa saat setelah aku mengucapkan permintaan terakhirku, Usagi datang ke rumahku. Tentu saja, aku bahagia banget,” Lala mengakhiri ceritanya bertepatan bel tanda masuk berbunyi.
“Kalau gitu, aku minta dipertemukan Tuhan dengan seorang pangeran,” akhirnya Rosi mau meminta juga meski hanya main-main.
“Oya, nice idea is’n  it,” puji Lala sembari keluar dari kantin, usai membayar makanannya.
Permintaan konyol itu sungguh membuat Rosi kelabakan. Soalnya, pulang sekolah tadi, dia benar-benar bertemu seorang pangeran. Namanya Andrei, dia kuliah di Unpad semester tiga. Dia sempat minta alamat, nomor telepon, dan tetek bengek lainnya. Yang jelas, dia amat familiar menurut Rosi.
Ingat itu, buru-buru Rosi mengangkat telepon dan langsung menceritakan keberuntungannya kepada Lala, saat itu juga.
Kini, aku percaya, kata hatinya
***

“Menakjubkan!” sorak Lala pagi harinya di sekolah, “Kamu tidak bohong, kan?” tanyanya kemudian.
“Tentu saja tidak, sobat. Aku beruntung punya sobat kayak kamu,” ujar Rosi sembari berjalan beriringan menuju kelas.
“Jangan bilang begitu. Aku tidak punya apa-apa, kok.”
“Nggak, sejak pertama kali aku mengenal kamu, aku sudah yakin kalau kamu peri baik hati yang akan menemaniku dan bisa mengurangi rasa tidak percaya diri, yang selama ini menggangguku,” ucap Rosi jujur.
Lala hanya tersenyum.
Memang, sebelum Rosi bertemu Lala, dunia seakan tidak mau bersahabat dengannya. Itu karena rasa percaya diri Rosi sangat rendah. Malah boleh dibilang, sama sekali tidak memilkinya. Padahal, kalau mau jujur, gadis itu begitu cantik dan anggun. Apalagi didukung kecerdasan yang dimilikinya.
Pernah, waktu dia kelas tiga SD, saat itu ada dari guru kalau setiap siswa harus mengarang puisi, lalu membacakannya di depan kelas. Ketika giliran Rosi maju, belum sempat mengayunkan langkah, tiba-tiba cuuur… rok bawahnya basah oleh air pipisnya sendiri. Tentu saja, dia diolok-olok seisi kelas. Beruntung, gurunya pengertian, akhirnya dia diperbolehkan pulang.
Sejak itu, Rosi benar-benar kapok dan selalu berhati-hati dalam menghadapi persoalan.
“Hati-hati boleh, tapi jangan keterlaluan,” pernah ayahnya menasehati begitu, tapi Rosi tidak terlalu peduli.
Biar dunia mengejeknya dengan berbagai ejekan, asal tidak mempermalukannya, dia anggap angin lalu saja.
Sampai menjelang puber, dia sama sekali tidak mau mengubahnya. Hingga dia masuk SMU dan bertemu dengan Lala, sahabat dekatnya yang sejak kelas satu hingga dua ini, selalu satu kelas dan selalu duduk sebangku.
Berbagai persoalan pribadi yang selama ini dipendamnya sendiri, dia ungkapkan kepada Lala. Hebatnya, Lala selalu tahu jalan keluarnya. Semakin akrablah mereka.
Puncaknya, pada akhir bulan lalu, saat Wiwid, si centil yang selalu tampil cantik itu merayakan ulang tahun dan mengundang seluruh temannya, dengan syarat harus datang dengan pasangan masing-masing.
Tentu saja, Rosi tidak bisa datang, lantaran dia belum punya pasangan. Sebetulnya, bisa saja dia meminta sepupunya untuk menemaninya, tapi menurutnya itu tidak fair, buntutnya dia merasa lebih baik tidak datang.
“Hei, tumben bengong gitu, sudah bel istirahat, tuh!” ingat Lala melihat Rosi bengong. “Ke kantin yuk!” ajaknya kemudian.
Rosi menggeleng, “Aku lagi nggak nafsu, La,” katanya pendek.
“Em… aku tahu. Kamu sedang memikirkan permintaan kedua, kan?” tebaknya tepat.
Rosi tersenyum.
“Boleh aku ngasih usul?” tawar Lala ramah.
Sekali lagi, Rosi tersenyum. Akhir-akhir ini, dia memang jarang sekali menolak pertolongan peri kecil nan manis itu.
“Permintaan pertama kemarin sudah dipenuhi, sekarang bagaimana kalau kamu meminta kepada Tuhan, agar pangeran kamu itu mau mengejarmu. Ya, mengejarmu, paling tidak, dia ngasih perhatian kepada kamu.”
Memang itu yang sedang aku pikirkan, sobat, bisik hati Rosi.
Rosi mengangguk. Beberapa saat kemudian, dia mengucapkannya dengan penuh perasaan.
Lala senyam senyum tergelitik melihat tingkah  Cinderella kuper yang lagi jatuh hati itu
“Sekarang, ke kantin yuk, ah,” ajak Lala usai puas melihat tingkahnya.
***

Harapan tinggal harapan, permintaan tinggal permintaan. Setelah tiga hari berlalu, apa yang diminta Rosi belum terkabul juga. Boro-boro pangeran yang dijumpainya itu datang kepadanya, menampakkan batang jemarinya pun tidak.
“Jangan terlalu dipikirkan, Ros, kali aja dia sedang sibuk dan tidak sempat menemui kamu,” hibur Lala lewat telepon, sabtu sore ini.
“Kayaknya, aku sudah nggak percaya lagi deh, La.”
“Eh, jangan begitu, kamu harus percaya, Tuhan sedang berbaik hati kepada kamu.”
“Kalau itu sih, aku sudah dari dulu percaya, La, aku…”
Belum sempat kalimat Rosi dituntaskan, tiba-tiba terdengar suara VW kodok memasuki pekarangan rumahnya.
“La, tutup dulu ya, kayaknya ada tamu tuh,” Rosi menutup pembicaraan.
Surprise, begitu Rosi membuka pintu, dilihatnya pangeran tampan dengan pakaian trendi tersenyum kepadanya.
“Hai, apa kabar?” sapanya langsung.
Rosi menundukkan kepala, antara percaya dan tidak, dia mengangguk, menjawab sapaannya.
“Boleh saya masuk?”
“O, e…e…i…iya, silahkan,” gagap Rosi keterlaluan.
Si Pangeran hanya tersenyum, lalu duduk. Rosi ikut-ikutan duduk. Betapa begonya dia kali ini. Dia sama sekali tidak tahu apa yang harus diperbuatnya selain duduk.
“Hai, apa tuan rumah selalu tega membiarkan tamunya kehausan?” ingat pangeran itu.
Astaghfirullah, Rosi tersentak. Benar-benar bodoh dia.
“Ma … ma … mau minum apa?” tanyanya masih gagap.  
“Apa ajalah, asal kamu yang buat,” kata pangeran itu, membuat Rosi makin salah tingkah.
Ya, Tuhan, ada apa ini?  tanya hati Rosi sembari mengaduk-aduk sirop strawberry. Dengan menarik nafas pelan, Rosi membawa dua gelas itu. Ini salah satu kiat yang pernah diberikan Lala kepadanya.
“Si … silahkan diminum.”Alhamdulillah, bathin Rosi gembira lantaran bisa menguasai diri,
“Mas Andrei main ke sini sama siapa?” Rosi coba-coba memberanikan diri bertanya.
“Panggil Andrei saja, deh,”
“Eh iya, ke sini dengan siapa?”
“Memangnya, Rosi lihat aku ke sini dengan siapa?” balik Andrei.
Rosi mengedikkan bahu.
“Kalau menjawab, jangan dengan kedikan atau gelengan. Suara kamu kan, masih terdengar bagus.”
Rosi makin menunduk. Benar-benar pangeran, bisik hatinya.
“Ros, jalan-jalan yuk, aku lagi sumpek, nih.”
Ada rasa yang tidak bisa dimengerti, yang tiba-tiba menyelimuti perasaan Rosi. Dia ingin mengangguk tapi ingin juga menggeleng.
“Sore ini nggak ada kegiatan, kan?”
“Nggak ada.”
“Makanya yuk ah, cabut.”
“Tapi …”
“Tidak pakai tapi-tapian. Sekarang, kamu ganti baju, izin sama Mama, lalu kita pergi, oke? Bilang ada temen yang ngajak jalan-jalan.”
Tanpa menunggu lagi, Rosi masuk ke dalam.
Setelah ganti pakaian, seruan khas yang sering dilakukan adiknya yang masih kelas tiga SMP ditirukannya.
“Yeees …” serunya, pelan dan penuh perasaan.
***

Kali ini, Lala benar-benar bengong mendengar cerita Rosi, tentang ajakan Andrei tadi sore lewat telepon.
“Kamu diajak ke mana aja?” respon Lala.
“Muter-muter kota Bandung. Asyik nggak?” jujur Rosi membuat Lala ngiler-ler, “Terus yang paling mengesankan dan kayaknya nggak bakalan aku lupakan, aku dikenalkan  kepada temannya yang kebetulan ketemu di BIP kalau aku pacarnya!” Lanjutnya.
Lala kontan terpekik, gila, Rosi bisa kencan juga, bathinnya.
“Terus, Andrei ngomong apa aja?”
“Banyak. Tentang kuliahnya, tentang keluarganya, tentang teman-temannya, dan kegiatan ekstraknya yang seabrek. Ternyata, doi jago basket, lho!”
Hening sejenak.
“Eh, kayaknya aku pengen cepat-cepat minta permintaan terakhir deh, La.”
“Oh ya, sok aja, tapi hati-hati lho, soalnya ini menyangkut hati kamu,” saran Lala sedikit prihatin.
Soalnya Rosi yang selama ini dikenalnya sebagai si Pendiam yang sukar diajak ngobrol ngalor ngidul, hanya dalam jangka waktu beberapa hari bisa berubah.
Apa ini yang dinamakan kekuatan cinta?
“Kalau gitu.. nanti aja deh, nunggu waktu yang tepat.”
“Nah, aku setuju itu, tunggu sampai pendekatan Andrei kelihatan nyata. Namanya juga cowok.”
Rosi termenung sejenak. Diam-diam dia membenarkannya.
“Eh, kok, diam?” Ingat Lala.
“E, nggak, aku lagi mikir aja, kamu itu bidadari yang sengaja diturunkan untuk menemaniku atau peri baik hati yang menjelma jadi orang.”
Lala tertawa ngikik, “Udahan ah, Andi udah jemput, nih!” pekiknya kemudian.
“Ya, deh! Met malam mingguan, ya!”
“Yuk dadah …”
Telepon ditutup. Sebelum kembali ke kamar, Rosi diam sejenak di sisi meja telepon. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang.
***

Tidak terasa, waktu telah berjalan hampir dua bulan lebih, selama itu perhatian Andrei kepada Rosi semakin terlihat.
Kadang pergi sekolah diantar, pulang dijemput. Tidak jarang pula, mereka menghabiskan malam minggu berdua. Entah hanya jalan-jalan ke pusat kota atau hanya duduk-duduk di emperan sepanjang jalan Cihampelas yang terkenal produk jeans-nya itu.
Tetapi herannya, tiap kali mereka menghabiskan malam minggu berdua, malam itu juga Lala tidak menghabiskan malam minggunya bersama Andi. Ini yang kadang menimbulkan prasangka yang tidak-tidak di benak Rosi. Jangan-jangan
“Hai, lagi baca apa ngelamun?” tanya Lala tiba-tiba muncul di perpustakaan. “Kalau mau ngelamun ditaman aja,” katanya lagi
Rosi tersipu. Akhir-akhir ini dia memang sering tersipu-sipu begitu.
“Eh, Ros, gimana perkembangan pendekatan Andrei?” tanya Lala hati-hati, setelah duduk di depan Rosi.
Rosi tersipu lagi, pura-pura membalik-balik buku di tangannya. Kalau sudah begitu, berarti Rosi tidak mau membicarakannya. Soalnya selama ini yang Lala tahu, Rosi tidak suka membicarakan sesuatu yang bukan pada tempatnya.
“Oke … oke, kita bicara nanti saja,” buru-buru Lala meralat.
“Sekarang juga tidak apa-apa,” jawab Rosi, tidak disangka-sangka.
“Bener?” Lala tidak percaya.
“Bener, hanya kurang enak karena kurang santai, gitu.”
Ceile, ada perubahan lagi sekarang, bisik hati Lala. Karena itu, Lala mengajak Rosi keluar, menuju taman.
“Perkembangannya banyak sekali, La dan kayaknya aku harus cepat-cepat meminta kepada Tuhan supaya Andrei mau mengungkapkan perasaan yang sebenarnya kepadaku,” cerita Rosi begitu duduk.
“Baguslah kalau begitu. Tadinya, aku juga mau ngasih saran kayak gitu, hehehe.. selamat ya!”
***

“La, pagi ini kamu keluar, tidak?” tanya Rosi, begitu suara Lala menyapa dari telepon di seberang sana.
“Nggak ada tuh, memangnya ada apa?”
“Pokoknya surprise berat. Tadi malam, Andrei kan tidak datang. Eh, tadi pagi-pagi sekali dia menelepon. Kamu tahu apa yang dikatakannya?” Kalimatnya mengantung, “Dia bilang, I love you, baby!”
“Wow, selamat deh. Terus?” Kegembiraan Lala terdengar dari nada suaranya.
“Terus, sekarang aku diajak makan-makan. Karena, kayaknya aku agak gemetaran, gimana kalau sebentar lagi aku jemput kamu?”
“Memangnya tidak mengganggu?” tanya Lala.
“Justru kamu akan mendukungmu. Kamu tahu tidak sih, sampai sekarang aku masih gemetaran,”  rajuknya.
“Oke deh, aku tunggu ya!”
Ternyata, tidak sampai satu jam, Rosi dan cowoknya sudah nongol di beranda rumah Lala. Tentu saja, Lala kaget berat. Soalnya, cowok disamping Rosi itu…
“An, kamu …,” gumam Lala tidak percaya. Cowoknya yang selama ini menyejukkan hatinya, benarkah kini telah menjadi milik sahabatnya?
“O, kalian sudah saling kenal?” tanya Rosi tanpa merasa berdosa.
“Tentu saja kenal Ros karena dia adalah Andi, cowokku!” pekik Lala agak bergetar.
“Jadi … kamu … ah,” Rosi berbalik.
Dia merasa dunia kembali mempermalukannya. Ini gara-gara uang logam itu. Gara-gara dongeng konyol itu. Gara-gara ... belum sempat Rosi menyetop taksi, tangan kekar Andrei keburu menggaetnya.
“Sabar dulu, Ros. Aku jelaskan dulu yang sebenarnya,” katanya. “Yang jadi cowok Lala bukan aku tapi kakak kembarku,” buru-buru Andrei menjelaskan.
“Jangan membual kamu!”
“Suwer, Ros, nih lihat foto kami berdua, “Andrei mengeluarkan selembar foto ukuran postcard. Ini aku dan ini, kakak kembarku.”
Terpana, Rosi menatap dua sosok yang sangat mirip itu.
“Kamu tidak sedang menipuku, kan?”
“Demi Tuhan, kalau tidak percaya …”
Sebuah VW tiba-tiba muncul dari tikungan menuju rumah Lala, VW yang mirip seperti kepunyaan Andrei.
“Tuh lihat Andi datang”, ucap Andrei senang.
Sesaat Rosi terpana, kemudian tersenyum bahagia.
Benar-benar ajaib dongeng sekeping logam itu, geming hati Rosi. Tidak dipedulikannya Lala yang terbengong-bengong di beranda sana, melihat dua orang yang sangat mirip.
Previous article
Next article

2 Komentar

  1. Cerpen ini mengalir bagus. Tapi sayang sekali,mengandung propaganda pacaran untuk remaja. Dan itu ngga banget buat anak saya

    BalasHapus
  2. Terima kasih Pak Arif ... ini memang salah satu contoh cerpen remaja populer Pak. Semoga anaknya nggak baca ya pak.

    BalasHapus

"Monggo, ditunggu komentarnya teman-teman. Terima kasih banyak"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel