Wisata
Masjid Al-Karomah Saksi Kesultanan di Banjar
Martapura, selama ini dikenal sebagai kota penghasil intan.
Intan hasil kekayaan alamnya terkenal hingga ke manca negara. Tidak heran, jika
kota kecil yang menjadi ibukota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan ini
kemudian memiliki salah satu destinasi wisata religi yang layak disambangi,
yaitu Masjid Al-Karomah.
Masjid megah dengan kubah berwarna hijau muda yang terletak
di pusat kota, di jalur utama antarkota,
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, dan berdiri tegak di dekat pasar intan
tersebut menjadi masjid terbesar di Kalimantan Selatan.
Masjid Terlihat Indah dari Depan (Foto: Alee) |
Saksi Kesultanan
Setelah mengisi pelatihan menulis di sebuah Sekolah Islam Terpadu
di Banjarmasin, saya diantar salah seorang teman dari komunitas menulis menuju
Martapura. Perjalanan dari Banjarmasin menuju Martapura hanya memakan waktu
kurang lebih satu jam, jadi tidak melelahkan.
Kami sempat mampir di salah satu Taman Bacaan Masyarakat yang
terletak di dekat pintu gerbang Martapura. Taman Bacaan Masyarakat yang
dilengkapi dengan fasilitas belajar untuk masyarakat sekitar.
Setelah sekitar setengah jam berkunjung, perjalanan
dilanjutkan dengan terlebih dahulu mampir di alun-alun kota yang bersisian dengan
pasar intan. Mata terbelalak disuguhi desain-desain perhiasan cantik bertahta
intan dan permata. Harga intan dan permata di sini pastinya jauh lebih murah dibanding
jika beli di luar Martapura, apalagi di Bandung.
Setelah puas mengelilingi alun-alun yang bersih dan teduh,
saya menuju masjid untuk shalat asar. Masjid yang saya maksud, tak lain dan tak
bukan adalah Masjid Al-Karomah. Masjid yang menjadi saksi sejarah kesultanan di
Martapura, bahkan hingga kesultanan sekarang.
Dahulu, Masjid Agung Al-Karomah dikenal sebagai Masjid Jamik
Martapura. Masjid dahulu hanya berukuran 37,5 X 37,5 meter. Dibangun dengan
struktur utama dari bahan Kayu Ulin. Bentuk bangunan meniru Masjid Agung Demak
lengkap dengan atap limasan bersusun tiga. Dibangun pada tanggal 10 Muharram 1280 H atau
27 April 1863 M.
Masjid saat itu berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat dakwah,
dan benteng pertahanan para pejuang dalam menentang Belanda.
Seiring dengan perkembangan zaman, Masjid Jamik yang terletak
di Jalan Ahmad Yani tersebut terus mengalami restorasi dan renovasi
besar-besaran. Bangunan yang awalnya terdiri dari kayu ulin berubah menjadi
bangunan dengan konstruksi beton yang kokoh.
Sekarang, rangka atapnya terbuat dari baja stainless, yang
terangkai dalam struktur space frame.
Kubah bawangnya yang berjumlah 6 buah, menjulang tinggi dan dipercantik dengan lapisan
dari bahan enamel bercorak. Indah sekali di pandang mata.
Meski sekarang telah berubah menjadi bangunan modern, bangunan
awal yang ditopang oleh empat tiang Kayu Ulin yang menjadi Saka Guru
peninggalan bangunan pertama masjid masih tegak di tengah-tengah bangunan. Jadi,
seolah-olah ada masjid di dalam masjid.
Begitu pula mimbar tempat khatib berkhutbah. Mimbar berukir
untaian kembang yang berbentuk panggung dan dilengkapi tangga yang telah
berumur satu abad tetap dipertahankan. Sekarang ukuran masjid mencapai 85X85M dengan
total luas halaman kurang lebih 210X110M.
Masjid di dalam Masjid dan Tiang Keramat (Foto: Alee) |
Tiang Keramat
Usai shalat dan rebahan sejenak, saya masuk sisa bangunan
masjid lama, di mana empat tiang kayu Ulin berada. Saya lihat, empat tiang yang
dikitari tiang-tiang penyangga bangunan lama ditaburi bunga-bunga. Bunga-bunga
tersebut dipasang para peziarah. Mereka sebagian ada yang memercayai mitos
kekeramatan tiang-tiang tersebut.
Konon, jika kita mampu memeluk keempat tiang tersebut, kita
akan segera mendapat rezeki untuk naik haji. Mitos ini beredar lantaran daerah-daerah
yang dahulu pernah dilewati Kayu Ulin, saat dibawa melalui aliran Sungai
Barito. Daerah-daerah tersebut menjadi ladang intan.
Mitos tersebut dikuatkan dengan kehebatan Datuk Landak, datuk
yang ditugaskan mencari Kayu Ulin. Pada saat pertama kali mendirikan keempat
kayu ulin, Datu Landak hanya menepuk tanah dan dengan sendirinya tiang-tiang tersebut
berdiri tegak.
Sebagian masyarakat percaya, ada kekuatan dalam tiang-tiang
tersebut lantaran keistimewaan Datu Landak, sehingga setiap hari ada saja
masyarakat yang memberi bunga pada tiang-tiang tersebut. Wallahu’alam.
Untuk mencapai Masjid Al-Karomah sangat mudah karena hanya
butuh waktu kurang lebih satu jam perjalanan darat dari Kota Banjarmasin dan
hanya setengah jam dari Bandara Syamsudin Noor, Banjarbaru. Masjid ini juga
berada di pinggir jalan trans Kalimantan ruas Kalimantan Selatan-Kalimantan Timur.
Tepat di pusat kota Martapura.
Setelah menikmati arsitekur bangunan di dalam yang tidak
kalah menarik dengan arsitektur di luar, saya menuju parkiran karena mengejar
waktu magrib di Banjarmasin. Di depan masjid, sebuah menara melengkapi kecantikan
Masjid Al-Mukaromah. Masjid yang penuh dengan keistimewaan. (Ali Muakhir, pemilik akun @KreatorBuku,
penikmat wisata dari Forum Penulis Bacaan Anak, tinggal di Bandung)
***
Previous article
Next article
Indonesia itu banyak punya masjid yang keren, ya ternyata. Jadi kepikiran bikin Wisata Masjid ^_^
BalasHapusBener banget Mas.
HapusMumpung bentar lagi Ramadhan ... saat yang tepat buat keliling masjid.
pengen ke sanaaaa
BalasHapushiks hiks
Hayuk Ri ... ajak-ajak ya
Hapuspengen ke sanaaaa
BalasHapushiks hiks
Wah ya ini salah satunya yang membuat saya pengen ke Banjarmasin :)
BalasHapusAjak-ajak kalau ke sana ya Mas, hehe.
HapusTest-test semoha berhasil muncul di sini. ^_^
BalasHapusHore bisa komen. Asyik.
BalasHapuswihh! Keren deh ulasannya, Mas Ali. Berasa mengalami secara langsung. ^_^
Hehehe ... asyiiik ... ayooo cerita Masjid di Taiwan Keyzia
Hapus