Wisata
Festival Siti Nurbaya 2016 Membuat Saya Tahu Kearifan Lokal dalam Budaya Minang
SELAMA ini, saya tahu Padang hanya
sekadarnya saja. Hanya tahu Rumah Makannya yang bertebaran di hampir setiap
kota besar di Indonesia, kulinernya, dan tentu saja beberapa pantainya yang
indah.
Ternyata, apa yang saya ketahui
tentang Padang baru seujung kuku saja karena masih banyak yang belum saya ketahui
termasuk budaya yang sudah mengakar di sana. Budaya yang membuat masyarakat
Padang punya kekhasan dan keunikannya sendiri. Budaya yang lebih dikenal dengan
Budaya Minang.
Saya mengetahui kearifan lokal Budaya
Minang lantaran informasi yang bersliweran di timeline media sosial seperti
twitter, facebook, dan instagram FestivalSiti Nurbaya 2016. Festival yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (DisBudPar) Kota Padang pada tanggal 7-10 September 2016. Saya
penasaran karena baru kali ini mendengar festival tersebut.
Padahal, festival yang memang
bertujuan untuk melestarikan sekaligus mengenalkan Budaya Minang kepada
masyarakat luas itu telah dilaksanakan hingga enam kali. Waaaah, ke mana saja
gue?
Event,
Pagelaran, dan Acara Rakyat
Dalam festival yang dibuka oleh Bapak
Wakil Walikota Padang itu, digelar beberapa event, diantaranya lomba blog dan
lomba yang berkaitan dengan publikasi di media sosial seperti Twitter,
Instagram, dan Facebook.
Di Taman Muaro Lasak juga disediakan Wall of fame sehingga masyarakat bisa
foto-foto dan mengunggah fotonya di media sosial dengan hastag #FestivalSitiNurbaya.
Kemudian pada saat event berlangsung
ada Karnaval, Lomba Perahu Hias, Lomba Maelo
Pukek, Lomba Selaju Sampan, Lomba
Panjat Pinang, Lomba Fotografi Jurnalistik, dan video liputan.
Asa eksebisi seperti Lomba Giliang Lado, Lomba Kukur Karambiah, Permainan Anak Nagari seperti Sepak Rago,
Enggrang, Tarompa Tampuruang. Acara diramaikan dengan Ghatering Komunitas Kota
Padang serta Pentas Seni Tradisional dan Musik Pop.
Ada yang menarik dan berbeda dalam
Festival Siti Nurbaya 2016 dibanding dengan Festival Siti Nurbaya
sebelum-sebelumnya. Panitia menggandeng seluruh lapisan masyarakat termasuk generasi
muda. Maka terjadilah perpaduan yang harmonis
antara pemuda yang sangat fasih dengan media sosial dan kekinian dengan Budaya
Minang yang melegenda.
Acara festival dibuka dengan karnaval
dan Perahu Hias yang diikuti oleh masyarakat luas. Usai karnaval dan Perahu
Hias.
Kemudian ada Selaju Sampan atau mendayung sampan. Sebagai kota pesisir,
masyarakat Kota Padang sejak dahulu menggunakan alat transportasi sampan dalam
aktivitas keseharian, salah satunya saat bersilaturahmi. Selaju sampan perlu
dilestarikan untuk mengurangi kemacetan Kota Padang.
Lomba Salaju Sampan Festival Siti Nurbaya (Foto Agus) |
Maelo
Pukek atau menarik jala. Maelo Pukek merupakan cara
tradisional nelayan Ranah Minang saat menangkap ikan di pinggir laut atau pun
dipantai. Dalam Maelo Pukek dibutuhkan banyak orang untuk menarik jala secara
bergotong royong. Jala diangkut ke pinggir pantai secara bergantian hingga ke
darat.
Lomba Maelo Pukek Festival Siti Nurbaya (Foto Agus) |
Maelo Pukek selain mengingatkan
kembali akan pentingnya bergotong royong juga pentingnya menjaga laut supaya
ikan terus berkembang biak dengan baik. Masyarakat mencari ikan cukup dengan
jala bukan dengan granat atau alat-alat yang merusak terumbu karang dan
mencemarkan.
Salah satu budaya Padang adalah
membuat Teh Talua, makanya di Festival Siti Nurbaya 2016 pun diadakan lomba
Membuat Teh Talua. Teh Talua atau teh telur ini minuman khas Minangkabau.
Hebatnya Teh Talua, meski pun menggunakan bahan telur, tetapi teh tidak bau
amis.
Lomba Membuat Teh Taula (Foto Agus) |
Lomba yang tak kalah serunya adalah Manggiling Lado. Kita tahu, hampir
seluruh kuliner khas Minangkabau pasti pedas. Lado atau cabe tak bisa
dipisahkan dari kuliner khas Minangkabo karena masyarakat minang menyukai rasa
pedas. Rasanya tak berlebihan jika aktivitas Manggiliang Lado (Mengulek Cabe)
pun menjadi salah satu bumbu penyedap dalam Festival Siti Nurbaya 2016. Event
yang tak kalah seru adalah pemutaran Film Salisiah Adaik dan Kukur Karambia.
Wisatawan Asing pun ikut lomba Manggiling Lado (Foto Agus) |
Antara
Salisiah Adaik dan Kukur Karambia
Pada Festival Siti Nurbaya 2016 kali
ini, Ada dua event yang mendapatkan apresiasi luar biasa dari pengunjung. Event
pemutaran Film Salisiah Adaik dan Kukur Karambia. Film yang diputar pada malam
hari pertama tersebut membuat pengunjung Festival Siti Nurbaya 2016 sangat
padat.
Sebuah Film yang mengungkap
perjalanan manis dan pahitnya budaya dan tradisi di Minang. Kebetulan,
sutradara film tersebut memang asli Minang, jadi bisa digarap dengan baik. Film
bercerita tentang perbedaan yang ada dalam tradisi Minang.
Suasana Nonton Bareng yang Sangat Penuh (Foto Panitia Festival) |
Tersebutlah seorang laki-laki bernama
Muslim asal Pariaman. Dia berumur 28
tahun dan berprofesi sebagai tukang emas. Muslim pindah ke Payakumbuh untuk
menggantikan karyawan Ajo Amaik yang pulang kampung. Karena perbedaan tradisi
dalam berbahasa, di Payakumbuh terjadi miss komunikasi, Muslim pun mendapat
musuh.
Muslim kemudian bertemu dengan Ros,
gadis Payakumbuh yang membuatnya jatuh hati dan berniat untuk menikahi wanita
tersebut. Lagi-lagi lantaran perbedaan tradisi, kisah percintaan mereka pun
ditentang oleh keluarga dan orang-orang di Payakumbuh.
Mengetahui hubungan antara Muslim
dengan Ros ditentang karena tradisi, orang tua Muslim pun memberikan perlawan
dengan tradisi.
Film
ini menjadi menarik karena adanya jurang perbedaan yang sangat lebar
antara tradisi di Pariaman dan Payakumbuh. Banyak orang mengatakan, Pariaman
dan Payakumbuh memiliki tradisi pernikahan yang berbeda seratus delapan puluh
derajat. Padahal, pada saat sekarang tetap saja banyak terjadi pernikahan
antara orang Pariaman dengan orang Payakumbuh.
Film menjadi jembatan untuk membuka
mata bahwa justru dengan perbedaan tradisi seharusnya tidak terjadi
pertentangan, malah sebaliknya perkawinan dua tradisi yang berbeda akan
memperkaya nilai masing-masing budaya dan tradisi yang ada.
Sang sutradara, Ferdinan Almi, lahir
di Padang Panjang, Sumatera Barat, tanggal 5 November 1986, masih sangat muda. Menurut
saya Ferdinan menjadi anak muda yang mewakili generasinya dalam mengenalkan tradisi
dan Budaya Minang.
Kukur Karabia Pun Diikuti Wisatawan Asing (Foto Panitia) |
Event kedua Lomba Kukur Karambia atau
memarut kelapa. Saya sempat tertegun ketika melihat beberapa peserta Kukur
Karambia adalah orang asing. Waaah, rupanya Tradisi Kukur Karambia membuat para
turis penasaran!
Anak-anak Remaja Tak Mau Kalah (Foto Panitia) |
Kita tahu, bahan utama kuliner Minang
pasti menggunakan santan kelapa, mulai dari Rendang, Pangek Ikan, hingga Aneka
Gulai. Oleh karena itu, perlu alat dan teknik tersendiri pada saat memarut
kelapa.
Kukur Karabia dilestarikan karena
memiliki nilai-nilai luhur, yaitu menghargai waktu dan memupuk kesabaran. Kita
tahu, memarut kepala dengan parutan atau garudan pasti membutuhkan waktu dan
kesabaran yang tinggi karena sangat berbeda dengan mesin pemarut. Di
sinilah, nilai-nilai luhur tersebut ditanamkan kepada masyarakat terutama
generasi muda. Dengan menghargai waktu dan kesabaran, diharapkan generasi muda
kehidupannya akan sukses di masa yang akan datang. Luar biasa pisan! Okay,
sampai jumpa pada Festival Siti Nurbaya tahun depan!
@KreatorBuku
Previous article
Next article
wow, reportasenya lengkap
BalasHapusmantap review-nya,keren
BalasHapusMantaappp
BalasHapus