Wisata
Pesona Makassar Tak Pernah Pudar
Telah lama ingin menginjakan kaki di Kotanya Pangeran Sultan Hasanudin
yang dijuluki sebagai “Water front city”. Makanya, begitu tiba di Makassar rasanya tak
sabar memeluk pesonanya.
Setelah semalaman beristirahat, pagi-pagi sekali, ketika matahari baru
membelah Kota Makasar, saya segera keluar hotel tempat saya menginap. Informasi
dari petugas hotel, hanya perlu waktu kurang lebih lima belas menit menuju
Pantai Losari yang sangat terkenal itu.
Benar saja, tidak lama kemudian saya berada di perempatan sebuah jalan
yang paling dicari para pelancong, yaitu Jalan Somba Opu yang sarat dengan
pertokoan yang menjajakan oleh-oleh dan pernak-pernik Kota Makasar.
Setelah melewati Jalan Somba Opu, saya tiba di Jalan Penghibur, jalan
paling dikenal karena di sinilah keberadaan Pantai Losari. Suasana pagi yang
masih hening menjadi semakin hening ketika desiran angin pantai menyapu wajah
saya.
“Mau ke Pulau Samalona pagi-pagi?” sapa seorang laki-laki yang sedang
duduk-duduk menikmati segelas kopi di ujung Pantai Losari dengan ramah. Saya
langsung mengeleng dan mengucapkan terima kasih.
Pagi ini saya ingin menikmati pesisir Pantai Losari, bukan Pulau
Samalona, pulau berpasir putih yang sangat indah karena memiliki banyak taman
bawah laut. Dari Pantai Losari kurang lebih 2 km perjalanan dengan boat sewaan.
Menuju Pulau Samalona bisa dari Dermaga Kayu Bangkoa atau dermaga depan
Benteng Fort Rotterdam. Biaya sewa boat sekitar Rp. 500 ribu. Di sana juga
disewakan alat snorkling dengan biaya Rp. 40 ribu/paket.
Pantai Losari
Udara pagi Pantai Losari sama sekali tidak beraroma laut, mungkin karena
jarak pantai dan laut lepas cukup jauh. Sepanjang pantai dibuat jogging track, baik di tepian pantai
yang berkelok-kelok ataupun di samping Jalan Penghibur.
Jogging track berpusat pada anjungan yang berdiri tulisan Pantai
Losari. Saya tidak menyangka pantai yang indah dan bersih ini dahulu hanyalah Pasar
Ikan. Dahulu setiap pagi dimanfaatkan sebagai pasar ikan. Sore hari
dimanfaatkan pedagang jajanan khas Makassar seperti pisang epe dan makanan
ringan khas lainnya.
Joging Track yang Memanjang di Tepian Pantai. Foto Ali M |
Anjungan Pantai Losari sebenarnya beton bendungan air yang memanjang sepanjang
910 meter. Digagas oleh Pemerintah Wali Kota Makassar, DM van Switten
(1945-1946). Bendungan diperluas hingga menjorok ke pantai. Di bawah bendungan,
dimanfaatkan untuk buangan limbah kota.
Pembangunan anjungan dimulai tahun 1945. Mulai dari desain dan pembetonan lantai dasar hingga pemasangan
lantai. Beton ditujukan untuk melindungi objek dan sarana strategis warga di
Jalan Penghibur dari derasnya ombak Selat Makassar. Setelah rampung dan
dimanfaatkan warga, anjungan kemudian dikenal sebagai Pantai Losari.
Masjid Apung
Sejak setahun terakhir, kawasan anjungan Pantai Losari, terlihat makin
memesona dengan dibangunnya masjid apung, Masjid Amirul Mukminin. Masjid
diresmikan Ketua Dewan Masjid Indonesia, mantan Wapres Jusuf Kalla pada 21
Desember 2012.
Masjid berlantai tiga dengan bangunan arsitektur modern ini dilengkapi
dua menara dan dua kubah berwarna biru. Masjid benar-benar terlihat seolah
terapung di atas Selat Makasar.
Pembangunan masjid difasilitasi oleh Walikota Makassar Ilham Arief
Sirajuddin dengan dana sekitar 9 Miliar. Berasal dari sumbangan para dermawan
di Makassar. Nama Amirul Mukminin dalam Bahasa Indonesia bermakna pemimpin kaum mukmin. Amirul Mukminin merupakan
gelar untuk Khalifah Umar Bin Khattab.
Masjid Apung Senilai 9 Miliar di Pantai Losari. Foto Ali M |
Meskipun ukuran masjid tidak begitu luas, namun mampu menampung sekitar
400 jamaah. Jika berkunjung ke Pantai Losari, jangan lupa untuk shalat di sana
untuk merasakan kenyamanannya, padahal masjid berada di daerah pantai yang
terik.
Menurut seorang Ibu yang sedang duduk-duduk di jembatan yang
menghubungkan antara anjungan dengan masjid, setiap sore di atas jembatan,
banyak warga yang nongkrong atau sekadar menunggu shalat magrib sambil menyaksikan
keindahan matahari tenggelam di Pantai Losari.
Setelah puas melihat pesona pagi Pantai Losari dari atas jembatan, saya
segera melanjutkan perjalanan menuju salah satu benteng terkenal di Makassar.
Benteng yang letaknya kurang lebih 15-20 menit dengan berjalan kaki dari Pantai
Losari.
Ingin sekali sebetulnya mencicipi jajanan dan kuliner Makasar di Pusat
Kuliner Makasar yang berada persis di depan anjungan Pantai Losari seperti seafood dari aneka ragam ikan laut yang
masih segar, mie kering khas Makassar, Sop Pallubasa, Sop Konro, dan Coto
Makassar. Sayang, hari masih pagi, jadi semua masih tutup.
Baru setelah sore hari, saya kembali ke anjungan dan menikmati makanan
enak di di Jalan Datumuseng tersebut.
Benteng Fort Rotterdam
Matahari belum juga meninggi, tetapi cuaca sudah mulai gerah ketika saya
masuk kawasan Benteng Fort Rotterdam, yang masih berada di Jalan Penghibur.
Sebelum masuk, saya menuju bagian kanan luar, ada taman yang digunakan warga
untuk berolah raga.
Benteng terasa kekar dilihat dari taman. Saya sempat mengambil gambar
sungai jernih yang mengalir di tepian benteng. Pantulan tembok berwarna kuning
gading Fort Rotterdam seolah menggambarkan kegagahannya.
Lantas saya melintasi tulisan Fort Rotterdam berwarna merah yang
melintang sebelum saya berhadapan dengan benteng dan pintu masuk. Saya menuju pos
jaga di sebelah kiri untuk membubuhkan nama dan alamat untuk melengkapi
kunjungan. Masuk benteng tidak dengan membeli tiket, hanya dengan uang suka
rela untuk menjaga kebersihan dan melestarikannya.
Benteng Fort Rotterdam berbeda dengan benteng-benteng yang pernah saya
jumpai. Fort Rotterdam terlihat cerah dengan dominasi cat warna kuning. Taman yang
berada di tengah benteng pun ditata dengan apik dan bersih.
Benteng memiliki 15 bangunan. Beberapa di antaranya disebut bastion atau
benteng pertahanan bagi orang Bone, Mandarsyah, Ambon, Buton, dan Bacan.
Sebagian lain adalah rumah dinas, gudang senjata, gedung, pengadilan, istana
bawah tanah, gereja, dan penjara.
Bangunan Gereja di Tengah Benteng Fort Roterdam. Foto Ali M |
Benteng seluas 28.595,55 meter persegi atau sekitar tiga hektare ini dipagari
tembok teknik susun timbun dengan bahan balok batu padas dengan berbagai
variasi ukuran. Rata-rata balok berukuran panjang 44-62 cm, lebar 21-34 cm
dengan ketebalan 10-20 cm. Dinding bentengnya antara 5-7 meter.
Saya menelusuri benteng melalui jalanan lebar yang berada di sebelah
kiri pintu masuk. Baru kemudian menuju berjalan menelusuri seluruh bangunan. Di
benteng ini ada Museum La Galigo yang menyimpan sebagian sejarah Kota Makassar,
khususnya jejak kejayaan kerajaan Gowa, lengkap dengan khasanah budaya suku
Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja.
Ada benda-benda pusaka khas Sulawesi Selatan seperti badik, sebagai
wujud majunya teknologi tempa logam di masa silam. Badik dari sisi kearifan
lokal, tidak saja mewakili benda budaya, melainkan juga berfungsi sebagai
pusaka atau warisan terutama untuk upacara-upacara adat, di samping sebagai
alat ekonomi serta alat bela diri.
Koleksi Museum di Benteng Roterdam. Foto Ali M |
Ada kalewang atau pedang yang dijadikan senjata perang suku Bugis.
Senjata ini wajib dimiliki sebagai syarat sah menjadi raja. Selain senjata,
masih banyak koleksi lainnya termasuk senjata api kuno zaman kolonial Belanda.
Tiba pada bagian bangunan paling pojok, sebelah kiri pintu masuk, saya
menemukan bangunan dua lantai yang berukuran kira-kira tidak lebih dari 6X5
meter persegi. Bangunan inilah yang dahulu menjadi penjara bagi pahlawan
nasional, Pangeran Diponegoro.
Fort Rotterdam, merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Dahulu dikenal
dengan nama Benteng Panyuwa karena denahnya mirip penyu. Bagi warga Gowa, penyu
memiliki makna khusus, yaitu kedigdayaan kerajaan Gowa baik di darat maupun di
laut.
Benteng sendiri dibangun oleh Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karang
Manguntungi Tumaparisi Kallona. Selesai dibangun pada tahun 1545 M oleh
penerusnya, raja Gowa X, Manriwa Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga
Ulaweng.
Pada masa penjajahan Belanda, benteng diserahkan kepada pemerintah
Belanda. Benteng yang pada masa awal berdiri bertiang tinggi khas bangunan tradisional
Makassar direnovasi hingga berarsitektur Portugis. Kemudian berganti menjadi
bangunan bergaya Eropa atau gotik. Terutama ketika dikuasai Belanda atau VOC
pada abad 17.
Benteng dibuka pukul 08.00-06.00. Informasi dari petugas, setiap hari
benteng dikunjungi sekitar 5000-10.000 pengunjung dari sejumlah wisatawan baik
dalam dan luar negeri. Benteng yang dahulu juga pernah menjadi tempat
penyimpanan rempah-rempah, kini menjadi saksi bisu penjajahan Belanda di
wilayah Sulawasi Selatan.
Benteng Somba Opu
Hari berikutnya, pagi-pagi sekali saya menyempatkan diri mengunjungi
Benteng Somba Opu. Karena waktu terbatas, saya diantar teman naik motor.
Ternyata tidak terlalu jauh, hanya sekitar 30 menit dari hotel.
Saya kecele ketika tiba di sana, saya pikir bentuknya masih sesempurna
Fort Rotterdam, ternyata sangat jauh. Sama sekali tidak terlihat benteng, hanya
sisa-sisa benteng yang telah runtuh dengan beberapa dinding yang masih tegak
berdiri.
Bentuk benteng hingga kini belum diketahui secara pasti meski upaya
ekskavasi terus dilakukan. Tetapi menurut peta yang ada di sana, bentuk benteng
ini persegi empat dengan luas total 1.500 hektar. Memanjang 2 kilometer dari
barat ke timur. Ketinggian dinding benteng yang terlihat saat ini adalah 2
meter. Tetapi dahulu, tinggi dinding sebenarnya adalah antara 7-8 meter dengan
ketebalan 12 kaki atau 3,6 meter.
Saya lihat tidak jauh dari gapura benteng ada beberapa sisa dinding
beton sebagai tanda, kalau di bawah beton masih ada dinding benteng yang belum
tergali.
Rumah Adat Bola Soba di Benteng Somba Opu. Foto Ali M |
Benteng Somba Opu sekarang ini dijadikan kompleks Miniatur Budaya
Sulawesi Selatan. Wisatawan dapat menikmati bentuk-bentuk rumah tradisional
Sulawesi Selatan seperti rumah tradisional Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar
tak jauh dari benteng. Sayang sekali beberapa bangunan rumah tidak terawat,
bahkan ada yang menempati secara ilegal.
Benteng Somba Opu dibangun oleh Sultan Gowa ke-IX yang bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa‘risi‘
Kallonna pada tahun 1525. Pada
pertengahan abad ke-16, benteng ini menjadi pusat perdagangan dan
pelabuhan rempah-rempah yang ramai
dikunjungi pedagang asing dari Asia dan Eropa.
Pada tanggal 24 Juni 1669,
benteng ini dikuasai oleh VOC dan kemudian dihancurkan hingga terendam
oleh ombak pasang. Pada tahun 1980-an,
benteng ini ditemukan kembali oleh sejumlah
ilmuan. Pada tahun 1990, bangunan benteng yang tinggal sisa-sisa dan telah
rusak direkonstruksi kembali hingga
sekarang.
Rumah Ada Toraja di Benteng Sompa Opu. Foto Ali M |
Biaya ke Makassar?
Penerbangan ke Makassar banyak sekali. Karena saya berangkat dari
Jakarta, harta tiket Rp. 750.000,-, PP Rp. 1.500.000,-. Saya menginap di Hotel
bintang 4 di Jalan Hasanudin dengan tarif Rp. 558.000/malam. Tarif angkutan di
Makasar sekitar Rp.3000-Rp.15.000 tergantung jauh dekatnya.
Makanan di Makassar sangat banyak, saya paling suka pisang epe dengan
harga rata-rata antara Rp.10.000-Rp.15.000/porsi (tergantung topingnya), Sop
Konro Rp.20.000-Rp.30.000/porsi, dan Mie Titi, dengan harga Rp.15.000/porsi. ***
Previous article
Next article
Belum ada Komentar
Posting Komentar
"Monggo, ditunggu komentarnya teman-teman. Terima kasih banyak"