Wisata
Uji Nyali Ketemu Mayat dan Tengkorak di Tana Toraja
SETELAH
melakukan perjalanan darat dari Kota Palu Sulawesi Tengah hingga Tana Toraja
Sulawesi Selatan selama 4 hari 3 malam, Lelaki Berciput akhirnya bisa istirahat
seharian di hotel bernuansa Rumah Tongkonan di Jalan Poros Makale Rantepao
Toraja bersama peserta ekspedisi Sulawesi, sebelum melanjutkan perjalanan ke
Makasar.
Hari ini,
seluruh peserta ekspedisi ditantang untuk uji nyali di pemakaman batu Tana
Toraja. Padahal teman-teman blogger tahu, Lelaki Berciput itu paling takut
dengan makam, kain kafan, mayat, tengkorak, dan peti mati. Akan tetapi, karena
ini sebuah tantangan yang akan berpengaruh pada eksistensi timnya, dia pun
menekan dalam-dalam ketakutannya.
Desa Ke’te’ Kesu’
Tim ekspedisi
digiring menuju Desa Ke’te’ Kesu’. Salah
satu desa wisata yang dikenal karena adat dan kehidupan tradisional
masyarakatnya. Ternyata dari hotel tempat menginap menuju Ke’te’ Kesu’ hanya
memerlukan waktu kurang lebih 15 menit.
Saat
iring-iringan tim memasuki kawasan, cuaca sangat bersahabat. Terlihat sawah
yang baru saja panen, pohon-pohon rindang, dan rumah-rumah tongkonan terhampar
indah di depan mata. Semua berdecak kagum. Tanpa perlu komando semua turun dari
kendaraan dan mengabadikan moment tersebut termasuk Lelaki Berciput.
Ke’te’ Kesu’
didapuk sebagai salah satu kawasan cagar budaya dan pusat berbagai upacara adat
Toraja seperti Rambu Solo (pemakaman yang dirayakan dengan meriah), Rambu Tuka
(upacara memasuki rumah adat baru), dan ritual adat lainnya. Setiap bulan Juni
hingga Desember upacara ramai dilakukan oleh masayarakat sekitar.
Ke’te’ Kesu’
menyimpan 6 Tongkonan dan 12 lumbung padi yang tetap terjaga dengan baik,
padahal usianya telah lebih dari 300 tahun. Saat Lelaki Berciput ke sana, ada
satu lumbung padi baru yang masih tercium aroma kayunya, lumbung padi tersebut
dibuat dengan harga 200juta! Glek! Luar biasa pisan!
Kemudian ada
tanah tempat upacara yang dihiasi 20 menhir. Museum benda kuno Toraja seperti
seni ukir, senjata, keramik, patung, kain dari Cina, dan bendera Merah Putih
yang konon bendera pertama yang dikibarkan di Toraja.
Supaya budaya
Toraja tak tergerus zaman, di sini ada pusat pelatihan pembuatan kerajinan dari
bambu dan kayu. Kebetulan sebagian besar warga Ke’te’ Kesu’ memiliki keahlian memahat
dan pelukis. Hasil kerajinan mereka dipamerkan dan dijual sebagai suvernir
tradisional Toraja sehingga melengkapi keindahan Ke’te’ Kesu’.
Tidak jauh
dari rumah tongkonan, ada makam batu, sebuah tebing yang cukup terjal dan penuh
dengan gua, di sinilah uji nyali yang sesungguhnya terjadi. Lelaki Berciput
sempat terpekik kecil saat melihat Erong –peti tradisional Toraja tergantung di
atas tebing. Kalau jatuh dan mayatnya berserekan bagaimana? Membayangkan saja
sudah bikin bulu hidung kuduk merinding disko, apalagi benar-benar kejadian?
Semakin ke
atas tebing, ada beberapa makam yang ditutup dengan jeruji besi, katanya untuk
mencegah pencurian Tau-Tau –patung jenazah. Hadoooh, kok ada orang seiseng itu,
ya. Beberapa jenazah bisa dilihat jelas dari luar bersama dengan harta yang
dikuburkan di dalamnya. Erong yang ada di desa ini tidak hanya berbentuk
seperti perahu, tetapi juga ada yang berbentuk kerbau dan babi yang diperindah
dengan ukiran yang khas.
Suku Toraja
percaya, kematian bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, melainkan sebuah
proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah atau akhirat). Pada saat menunggu
dilakukan upacara, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di
Tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa hingga upacara
pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Sambil gigit
sendal bibir dan sesekali mengusap keringat dingin, Lelaki Berciput
memberanikan diri masuk dalam gua, semakin ke dalam makin banyak tulang
belulang berserakan dan semakin banyak Erong. Sepertinya di sudut mana pun di luar
atau di dalam gua tak ada tempat selain untuk orang mati. Fhuih …
Lelaki
Berciput sempat tersipu saat melihat sesajen yang ada di sekitar tengkorak, ada
botol air soda, rokok, kue, dan uang recehan. Emangnya orang mati masih suka
minum soda, ngerokok, dan makan kue ya?
Setelah
hampir satu jam berkeliling di Ke’te’ Kesu’ akhirnya Lelaki Berciput bisa
bernapas lega. Uji nyali kali ini berhasil dilewati dengan baik.
Londa
Uji nyali
berikutnya adalah Makam Batu Londa, salah satu pemakaman unik yang terletak di
Tadongkon. Sebuah desa di antara Kota Makale dan Rantepao. Tempat ini dapat
dijangkau dengan kendaraan umum dari Makale atau mobil pribadi. Tim ekspedisi
pun beriring-iringan menuju ke sana. Lelaki Berciput kembali menguji
andrenalinnya untuk melihat mayat dan tengkorak yang berserakan.
Dahulu, Londa
hanyalah makam keluarga yang kemudian dibuka untuk umum dan menjadi objek
wisata. Londo terbilang unik karena mayat yang disimpan di sini hanya
dimasukkan ke dalam Erong dan diletakkan di dalam gua batu. Ada banyak
tengkorak yang tergeletak di dinding tebing, di bawah, dan di sudut mana pun
yang usianya sudah ratusan tahun. Bujubuneng
labuset!
Begitu tiba
di depan tebing, Lelaki Berciput melihat gua yang menggantung di atas tebing
yang berisi puluhan Erong. Kata guide, isinya tulang dan tengkorak para leluhur
dan Tau-Tau. Banyaknya Tau-Tau menandakan, di sini banyak dikubur putra-putra
terbaik Tana Toraja yang dikubur dengan adat Rambu Solo. Biayanya, miliran
rupiah, Bro.
Kuburan alam
purba ini, konon dilengkapi dengan sebuah benteng pertahanan Patabang Bunga
bernama Tarangenge. Letaknya di atas punggung tebing. Benteng Tarangenge
dibangun untuk membendung serangan pasukan kerajaan Bone yang diboncengi VOC
yang ingin menaklukkan Toraja. Peperangan berlangsung hingga diadakan
perjanjian perdamaian antara Bone dan Toraja di Duri (kabupaten Enrekang)
sekitar tahun 1670-1710.
Ada banyak
kisah menarik di Londo selain Tau-Tau, Erong, dan Benteng Pertahanan, sebut
saja kisah sepasang tengkorak yang dikubur di dalam gua, yang merupakan
sepasang kekasih yang tak direstui orangtuanya dan mereka bunuh diri. Sepasang
tengkorak tersebut kemudian dikenal dengan tengkorak Romi dan Julie. Ternyata,
dibalik keseramannya, ada juga kisah yang menghibur hati Lelaki Berciput.
Lelaki
Berciput makin terhibur saat keluar dari kawasan Londa dan kembali ke hotel
untuk melanjutkan ekspedisinya menuju Kota Makasar. Uji nyali kali ini
benar-benar membuatnya lega karena akhirnya bisa mengalahkan ketakutannya. Mau
mencoba uji nyali seperti Lelaki Berciput? Sok atuh, mampir ke Ke’te’ Kesu’ dan
Londa!
@KreatorBuku
Previous article
Next article
Ngeri ngeri sedap Kang Ali .... keren!
BalasHapusLelaki berciput hehe..
BalasHapusBudayanya unik y..
Bener banget perempuan berhijab, hehehe
HapusWaaaa udah lama pengen explore ke Sulsel. Moga-moga secepatnya.
BalasHapusSemoga Teh Lina.
HapusAmiiin
sayang sy ga ikut, kalau ikut saya akan puas ngagetin dan nakutin lelaki berciput itu. makanya ajak nanti ya
BalasHapusWaaah, bisa mendadak dangdut, hahaha.
HapusSiap Bro
padahal kalo dijadiin GANTUNGAN KUNCI bagus tuh...
BalasHapus:D
Buat kunci truk apa kunci museum Mas?
HapusHahaha
Waaa... Kayaknya asik banget ini
BalasHapusBener - bener uji nyali yaw kak,,, Nggak kebayang kalau di situ tengah malam sendirian lagi. Aya yang terjadi? hahaha
BalasHapusBener banget, hehe. Jangan sampai deh ke sini malem-malem, hihihi
Hapusiihh...berani ga yaa eykeh ikutan uji nyali ke sono?
BalasHapushmm..*ngumpulin nyali dulu :D
Hayuk ke sini kaka
Hapusmenakjubkan ya budaya di Tana Toraja..
BalasHapusIya Vira
HapusPengen kesana, nyobain sensasinya bertemu mayat sama tengkorang secara langsung hihi
BalasHapusHayuk atuh, hehe
HapusBeberapa kali ke sulawesi selatan,sy tidak pernah ke tanatoraja. Pengin banget. Bisa kemping di situ kali ya, hehe
BalasHapusWaaah, spekta banget kalau camping di sono, hahaha
HapusNgeri ngeri sedap petualangannya, Mas hehehe
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusSemoga secepatnya, hehe
HapusKe Toraja, saya sempat mengambil kesimpulan saat itu. Di sana, orang hidup untuk mempersiapkan mati. Kita serasa berziarah pada dimensi dunia lain, yang kadang antara rasa keheranan dan tertegun dengan budaya yang unik dan khas, menambah keberagaman budaya lokal negeri ini :)
BalasHapusBener banget Mas ... mereka hidup memang untuk mati dengan adat istiadat mereka.
HapusAku tahun kmrn nginep di salah satu rumah di toraja dan di rumah itu ada mayat yg blm di makam kan
BalasHapusSeru banget ya, indah budayanya
BalasHapus