Keunikan Kampung Naga yang Tetap Terjaga
SEJAK puluhan
tahun lalu, Kampung Naga yang terletak di Kota Tasikmalaya sangat dikenal
wisatawan karena keunikannya. Di tengah modernisasi, penduduk Kampung Naga
tetap mempertahankan tradisi dan menjunjung nilai-nilai luhur nenek moyang.
Saya berwisata
ke Kampung Naga di penghujung Bulan Desember lalu, saat hujan belum kerap, saat
matahari masih menyapa sepanjang hari, makanya bisa menikmati keunikan Kampung
Naga hingga lorong-lorong sudutnya.
***
Pagi-pagi
sekali, usia sarapan, saya bersama keluarga kecil saya meninggalkan Bandung
menuju Tasikmalaya. Perjalanan sangat lancar kecuali di daerah Nagreg
(menjelang Garut) yang memang dikenal sering macet karena ada tanjakan cukup
tajam dan truk-truk yang membawa beban berat berjalan melambat.
Kurang lebih,
satu jam setengah kemudian tiba di Garut
yang dikenal sebagai Kota Dodol. Sampai di ujung kota, tepatnya di pertigaan,
saya memilih meneruskan perjalanan menuju Tasikmalaya melalui jalan utama Garut-Tasikmalaya.
Garut yang
dikitari pegunungan sejak dahulu dikenal sebagai Swiss Van Java karena keindahan alam dan kesejukannya. Saat ini
banyak potensi alam yang dijadikan sebagai tempat wisata. Sekarang banyak
wisatawan berkunjung ke Garut.
Di tengah
perjalanan, tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Sawalu, Tasikmalaya saya
memperlambat kendaraan. Begitu melihat tanda lokasi Kampung Naga, saya langsung
belok kiri masuk parkiran tempat Wisata Kampung Naga yang cukup luas.
Begitu Tiba di Parkiran Disambut Ucapan Selamat Datang (Foto Kang Alee) |
Saya pikir
Kampung Naga berada di sisi jalan, ternyata harus menuruni anak tangga di lahan
bukit dengan kemiringan 45 derajat. Sungguh, tidak mudah menapaki deretan
tangga yang curam seperti itu, apalagi bagi yang tak terbiasa naik turun bukit.
Menurut
pemandu, anak tangga menuju Kampung Naga jumlahnya 439 buah dengan panjang
sekitar 400 meter. Yang unik, konon siapa pun yang mencoba menghitung anak
tangga jumlahnya akan berubah-ubah. Mungkin yang menghitung lelah, jadi
konsentrasinya berkurang. Sama sekali bukan karena hal mistis.
Tepat di
belokan tangga, dari atas ketinggian terlihat atap ijuk abu kehitaman
rumah-rumah penduduk Kampung Naga. Sangat kontras dengan sekelilingnya yang tampak
hijau dan subur.
Setelah
melewati anak tangga, jalan setapak, dan pematang sawah akhirnya sampai juga di
kawasan perumahan penduduk Kampung Naga yang luasnya kurang lebih 1.5 hekter
ini. Nuansa tradisional begitu sangat terasa.
Mulai dari
jalan perkampungan yang didominasi tanah dan bebatuan yang ditata sedemikian
rupa, bangunan perumahan yang terbuat dari kayu dan bambu yang dibiarkan begitu
saja atau hanya dipoles kapur putih, tanpa alat elektronik serta listrik.
Semua bangunan berkonsep rumah panggung dengan
pondasi bongkahan batu besar pada setiap penjuru bangunan. Batu yang juga
berfungsi sebagai penyangga hanya menancap tidak lebih dari 5 sentimeter ke
dalam tanah.
Jalan yang Berliku Menuju Kampung Naga (Foto Kang Alee) |
Meskipun terlihat sederhana dan rapuh, tidak ada
bangunan di Kampung Naga yang ambruk saat gempa besar berskala 7,2 richter
mengguncang Kota Tasikmalaya beberapa tahun lalu. Padahal, banyak bangunan
permanen di sekitar Tasikmalaya dan Garut mengalami kerusakan parah.
Bagi penduduk
Kampung Naga, setiap bangunan yang ada di Kampung Naga itu diibaratkan sebagai
tubuh manusia. Atapnya yang terbuat dari ijuk diibaratkan kepala, bangunannya
sebagai badan, dan batu penyangga sebagai kaki. Dengan keyakinan tersebut,
mereka merawat bangunan sebagaimana merawat tubuh manusia.
Dengan konsep
yang telah dibuktikan ketangguhannya, banyak tempat makan dan café-café di
beberapa daerah termasuk Kota Bandung mempercayakan konsep pembangunannya
kepada ahli bangunan dari warga Kampung Naga. Tentunya dengan mengusung
keunikan, kenyamanan, dan keamanan bangunan tersebut.
Total
bangunan yang ada di Kampung Naga hanya ada 103 bangunan, tidak boleh lebih dan
kurang. Terdiri dari 100 bangunan rumah warga dan 3 bangunan fasilitas umum
seperti Masjid, Balai Pertemuan, dan Lumbung. Kampung dihuni oleh 314 warga. Sebagai
pembatas kampung, di sekeliling kampung dipasang bambu pendek.
***
Mempertahankan Tradisi
Sebagai
kampung adat, siapa pun yang bertempat tinggal di Kampung Naga harus patuh pada
tata aturan, adat istiadat, dan tradisi Kampung Naga tanpa terkecuali, termasuk
saat membangun rumah.
Setiap rumah
di Kampung Naga dibangun menghadap utara dan selatan sehingga satu dengan yang
lain saling berhadap-hadapan serta saling membelakangi terhadap barisan rumah
berikutnya.
Setiap rumah
tidak memiliki pintu belakang. Menurut kepercayaan, jika rumah memiliki pintu
masuk dan pintu keluar, maka setiap rezeki yang masuk pintu depan akan keluar
lagi melalui pintu belakang.
Setiap rumah
di Kampung Naga tidak memiliki perabotan di dalam rumah selain lemari tempat
menyimpan barang-barang dan alat dapur. Tidak ada kursi, meja, tempat tidur,
dan perabotan rumah tangga lainnya. Mereka memasak menggunakan tungku kayu
bakar. Dapur dan ruang tamu di tempatkan bersisian.
Setiap rumah
di Kampung Naga tidak menggunakan listrik, meski pun pemerintah daerah siap
memberikan fasilitas listrik untuk warganya, sehingga tidak ada satu pun alat
elektronik ada di sana. Padahal secara materi mereka sanggup membelinya.
Apa yang diterapkan di Kampung Naga bukan semata-mata untuk menimbulkan keunikan, melainkan untuk mempertahankan tradisi yang memang sudah terasa manfaatnya.
Kayu, Batu, Bambu, dan Ijuk Menjadi Bahan Bangunan Utama (Foto Kang Alee) |
Apa yang diterapkan di Kampung Naga bukan semata-mata untuk menimbulkan keunikan, melainkan untuk mempertahankan tradisi yang memang sudah terasa manfaatnya.
Misalnya saja
menggunakan ijuk sebagai atap rumah. Ijuk memberikan rasa dingin dan adem pada siang hari dan
memberikan rasa hangat pada malam hari. Ijuk bisa bertahan hingga 40 tahun
sehingga lebih ekonomis dibanding menggunakan genting tanah atau genting beton.
Tanpa meja
tamu membuat warga Kampung Naga tidak membeda-bedakan tamu yang datang
berkunjung, semua duduk sama rendah di atas lantai kayu. Sebagaimana halnya di
hadapan Yang Mahakuasa, semua manusia derajatnya sama. Filosofi yang sederhana,
tetapi sangat dalam.
Begitu pun
dengan tanpa tempat tidur, semua tamu yang datang, dari kalangan mana pun tidur
di atas lantai kayu di ruangan yang lapang. Semua diperlakukan sama, tanpa
perbedaan sama sekali. Tanpa mengenal pangkat, jabatan, dan popularitas.
Bentuk rumah
sendiri menunjukan sikap kesederhanaan dan lebih terasa membaur dengan alam.
Unsur alam begitu melekat pada setiap bagian bangunan, mulai dari kayu, bambu,
ijuk, dan batu.
Oh iya, untuk
memenuhi kebutuan kayu dan bambu untuk bangunan, warga Kampung Naga memiliki lahan
khusus sehingga tidak sembarangan menebang pohon dan bambu. Bahkan untuk
kebutuhan kayu bakar untuk memasak pun ada lahan sendiri.
Ada hutan di
sekitar Kampung Naga yang dikeramatkan hingga benar-benar dijaga keutuhan dan
kelestariannya, efek positifnya kebutuhan air bersih bagi warga pun tak pernah
kering.
Warga Kampung
Naga tidak hanya menjaga lingkungan sekitar, lingkungan warga pun dijaga sejak
dini. Salah satu caranya, setiap rumah tidak memiliki toilet atau kamar mandi
sendiri. Setiap warga harus menuju kakus umum yang berada di luar tanah adat.
Begitu pun kandang ternak atau kolam ikan yang menjadi mata pencaharian
tambahan warga, semua berada di luar batas pemukiman Kampung Naga.
Masjid dan Fasilitas Umum di Kampung Naga (Foto Kang Alee) |
Warga Kampung
Naga adalah pemeluk agama Islam. Ada sebuah masjid berada di tengah-tengah
perkampungan, bersebelahan dengan balai pertemuan warga. Di tempat inilah,
pusat segala aktivitas warga.
Mata
pencaharian utama warga Kampung Naga bercocok tanam. Mereka memiliki lahan sawah
yang subur di sekitar kampung dan di luar Kampung Naga. Mereka menanam padi
setahun dua kali, setiap Bulan Januari dan Bulan Juli, sehingga tidak perlu
bahan kimia untuk membasmi serangga. Mereka percaya, pada bulan-bulan tersebut,
sawah bebas dari hama. Beras mereka pun benar-benar beras organik yang sehat
dari obat-obatan.
Setiap panen,
tanpa diminta, mereka menyisihkan sebagian untuk disimpan di lumbung padi umum.
Lumbung tersebut dimanfaatkan oleh warga untuk kepentingan bersama seperti
menyambut tamu atau upacara adat.
Mata
pencaharian lainnya diperoleh dari usaha ternak, budi daya ikan, dan jasa
keahlian warga seperti ahli bangunan dan kerajinan tangan. Kerajinan tangan
warga sangat diminati wisatawan yang berkunjung di Kampung Naga.
Sebagai
tempat wisata, Kampung Naga juga melestarikan beberapa jenis kesenian warga, di
antaranya angklung, Terbang Sejak, dan Terbang Gentung. Kesenian Angklung dan Terbang Sejak bersifat hiburan
dan bisa dimainkan kapan pun. Sementara Terbang Gentung hanya dimainkan pada
waktu-waktu tertentu saja, pada saat acara keagamaan.
Tempat Penangkaran Ikan dan Jamban Berada di Luar Lingkungan Perumahan (Foto Kang Alee) |
Terbang Sejak
dan Terbang Gentung adalah kesenian dengan alat musik serupa rebana. Alat musik
Terbang Sejak terdiri dari beberapa susunan alat musik berbagai ukuran mulai
dari yang kecil hingga besar. Alat musik Terbang Gentung menggunakan alat musik
berukuran besar saja.
Sejak kecil
anak-anak warga Kampung Naga sudah diperkenalkan pada kesenian-kesenian
tersebut sehingga ke mana pun mereka melangkah pergi, mereka tidak
melupakannya. Mereka tidak dilarang mengenal kesenian lain, asalkan begitu
mereka kembali menginjak Kampung Naga, mereka tidak membawa apalagi
mempermainkannya di Kampung Naga.
Demi
kelestarian kesenian, kelestarian adat-istiadat, kelestarian lingkungan, dan
kelestarian alam semesta ciptaan Yang Maha Esa.
***
Bagaimana Menuju Kampung Naga?
Siapa pun bisa
berkunjung dan berwisata ke Kampung Naga. Bagi wisatawan dari luar daerah, bisa
transit terlebih dahulu di Bandara Soekarno-Hatta Tangerang dan melanjutkan
perjalanan ke Bandung menggunakan bus bandara. Kemudian meneruskan dengan
menggunakan Bus jurusan Bandung-Tasikmalaya dari Terminal Luewipanjang. Bisa
juga langsung ke Bandara Husein Sastranegara Bandung.
Banyak maskapai
penerbangan dari banyak kota besar di Indonesia menuju Bandara Husein Sastranegara
Bandung selain beberapa penerbangan dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura,
dan sebagainya. Sebut saja seperti Garuda
Indonesia, Lion Air, Citylink, Wing Air, dan Air Asia. Tiket Pesawat pun
sangat mudah didapatkan melalui offline atau online.
Dari Bandara
Husein Sastranegara menuju Kampung Naga memerlukan waktu tempuh perjalanan
kurang lebih 4 jam, jadi sebaiknya memilih penerbangan paling pagi. Jika
memungkinkan lagi, sebaiknya sudah ditemani oleh guide, syukur-syukur sudah
sewa mobil, jadi lebih memudahkan.
Akan tetapi,
kalau wisatawan mau pakai Bus pun tak masalah. Dari Bandara Husein Sastranegara
wisatawan bisa menuju Terminal Cicaheum Bandung dengan waktu tempuh kurang
lebih 30 menit hingga 1 jam. Bisa menggunakan angkot, taksi, atau ojek yang ada
di sekitar Bandara.
Wisatawan
kemudian melanjutkan perjalanan dengan Bus jurusan Bandung-Tasikmalaya
kurang lebih 2-3 Jam. Enaknya naik Bus, wisatawan tidak perlu lagi pindah kendaraan
karena Bus jurusan Bandung-Tasikmalaya melewati Jalur Utama Garut-Tasikmalaya.
Tinggal minta tolong Pak Kondektur untuk menurunkan di Kampung Naga.
Tugu Kujang Pusata Dekat Pintu Masuk Kampung Naga (Foto Kang Alee) |
Jangan khawatir
bosan, karena sepanjang jalan wisatawan bisa menikmati keindahan Kota Bandung
dan Kota Garut dari dalam Bus. Jangan lupa pula, beli peuyeum dan makanan kecil khas Bandung yang bisa dimakan selama
dalam perjalanan.
Atau kalau
makanan kecil yang dibawa habis, bisa sambil merencanakan perjalanan berikutnya
seperti yang sering saya lakukan. Alhasil, dari coretan rencana perjalanan
tahun 2016 ini, ada dua destinasi wisata yang ingin sekali saya kunjungi, yaitu
Pulau Belitung dan Pulau Lombok.
Ingin mengunjungi
Pulau Belitung karena di balik tragedi tambang timahnya, ternyata Pulau
Belitung menyimpan banyak tempat-tempat yang unik dan menarik. Menurut saya,
itu dua sisi kontradiktif yang penting untuk dilihat dan diteliti.
Sementara
ingin mengunjungi Pulau Lombok karena baru saja Pulau Lombok mendapat 2
penghargaan World Halal Travel Summit
2015 sebagai World Best Halal Tourism
Destination 2015 dan World Best Halal
Honeymoon Destination 2015. Penghargaan diberikan dalam acara World Halal
Travel Summit 2015 di Abu Dhabi, UEA.
Dalam
kategori World Best Halal Tourism Destination, Lombok berhasil mengungguli
Kuala Lumpur yang ada di posisi 7, Istanbul posisi 6, dan Abu Dhabi di posisi
2. Sementara dalam kategori World Best Halal Honeymoon Destination, Lombok
mengungguli Kuala Lumpur, Krabi, Antalya, dan Abu Dhabi.
Bagi saya ini
penghargaan yang sangat prestisius. Saya sangat penasaran mengapa Pulau Lombok
mendapat dua penghargaan tersebut dan ingin membuktikannya. Ah, jadi ingin cepat-cepat
pergi ke sana.
Salam
Berwisata dan #Halan2Seru!
@KreatorBuku
Previous article
Next article
asyik kayaknya keliling kampung ituu
BalasHapusTerima kasoh utk info ttg Kampug maga. Jika kelombok jgn lupa ke 3 gili: trawangan, air, meno. Saya ksna 2x pd saat kunjungan pertama bisa dg bebas melakukan snokling digili meno krn airnya jernih, tp kunjungan ke2 airnya tdk jernih dan byk sampah jd tdk bisa snokling melihat kapal karamnya. Utk Belitung banyak pantai2 yg indah dg batu bsr menjulang ditengah laut dg pasir putihnya.Jgn lupa snorkling di pulau menjangan dan naik mercusuar, anda akan menikmati pemandangan lautan yg menakjubkan.
BalasHapusInfo yang menarik. Dekat sekali dari tempat saya nih ...
BalasHapusSalam,
Panduan Wisata Indonesia
Benar - benar unik Kang Alee, Dari jumlah bangunannya saja di batasi, menghadapnya pun ditentukan,,, dan ituloh mas menghitung anak tangganya, ceritanya sama di Yogyakarta di Makam Imogiri, setiap orang ngehitung nggak ada yang tepat,,,,, salam kenal Kang Alee
BalasHapus