Wisata
Situs Ciung Wanara Cagar Budaya yang Terlupakan
TIDAK banyak yang mengekspos salah satu situs yang merupakan salah satu Cagar Budaya Indonesia
yang ada di Kota Ciamis Jawa Barat. Padahal, situs tersebut hingga kini menjadi salah satu obyek wisata andalan Ciamis. Bahkan, legenda yang
melatarbelakangi keberadaannya hingga kini sangat terkenal seantero nusantara. Maka,
begitu saya mendapat kesempatan mengunjunginya, saya tidak menyia-nyiakannya.
Saya pun pergi bersama rombongan dari Bandung menuju Ciamis berangkat
pukul 07.00. Tiba di Ciamis kurang lebih pukul 11.00. Begitu memasuki area, sejenak
saya melihat keluar jendela kendaraan, terpampang sebuah tulisan cukup mencolok
yang terpahat di samping pintu gerbang. Tanda lokasi yang semakin membuat saya
penasaran bertuliskan Obyek Wisata Warisan
Budaya Ciung Wanara. Terletak di Desa Karangkamulyan, Cijeungjing, Ciamis,
Jawa Barat.
Begitu kendaraan berhenti di parkiran yang cukup luas, saya dan para
wisatawan langsung disambut rerimbunan pohon yang terlihat alami serta sebuah
Gong Perdamaian yang besar dan sangat mencolok.
Setelah foto-foto sejenak di depan Gong Perdamaian, saya dan rombongan
langsung membeli tiket masuk yang harganya sangat murah. Padahal situs
purbakala ini usianya sudah puluhan tahun dan perlu perawatan lebih. Saya lihat
sekeliling tampak seperti layaknya hutan lindung yang lembab dan basah. Meski
pun bersih, tetapi tampak mistis dan menyeramkan.
Batu Pangcalikan atau Singgasana Raja (Foto Kang Alee) |
Batu Pangcalikan dan
Sangyang Bedil
Situs Ciung Wanara atau lebih dikenal dengan Situs Karangkamulyan adalah
sebuah situs arkeologi peninggalan zaman Kerajaan Galuh yang bercorak
Hindu-Budha. Dalam situs ini ada beberapa situs yang berkaitan dengan
keberadaan Ciung Wanara, salah satunya Batu
Pangcalikan.
Batu Pangcalikan bentuknya berupa lahan berpagar besi, terdiri dari tiga
halaman. Tiap halaman dibatasi susunan batu dengan ketinggian sekitar 1 meter
dan lebar hampir 0,5 meter. Berdasarkan keterangan pemandu, pangcalikan
merupakan situs singgasana Kerajaan Galuh.
Saya sempat merenung, apa spesifikasi singgasana jaman dahulu, ya? Dalam
bayangan saya singgasana Raja itu tinggi, besar, dan bertahtahkan emas permata,
tetapi ini hanya tumpukan batu. Singgasana Kerajaan Galuh sendiri sebuah batu
putih berukuran hampir 1 meter x 1 meter dengan tinggi sekitar 0.5 meter yang
berada di ujung petak.
Batu itulah yang disebut masyarakat sekitar sebagai pangcalikan.
Pangcalikan dalam bahasa Sunda berarti tempat duduk. Singgasana kerajaan Galuh sesederhana
itu. Sayang hanya bisa melihat pangcalikan dari luar pagar.
Sanghyang Bedil (Foto Kang Alee) |
Saya dan rombongan kemudian meneruskan perjalanan hingga tiba di
persimpangan. Ada papan penunjuk yang menginformasikan keberadaan Situs Sanghyang Bedil. Berdasarkan namanya, saya menebak Sanghyang
Bedil mungkin ada hubungannya dengan bedil atau senapan.
Situs Sanghyang Bedil berupa
susunan batu berbentuk segi empat. Ada 2 batu panjang yang patah. Satu
batu posisinya tegak dan satu batu lainnya roboh. Nah, batu roboh itulah yang
disebut Sanghyang Bedil karena bentuknya yang mirip bedil atau senapan. Konon
situs itu merupakan tempat untuk menyimpan
senjata.
Panyabungan Hayam,
Lambang Peribadatan, dan Cikahuripan
Beberapa meter dari Situs Sanghyang Bedil terdapat lapangan kecil dengan
pohon bungur menjulang di tengahnya. Lapangan kecil inilah tempat Ciung Wanara
mengadu ayamnya dengan ayam milik sang raja. Saya membayangkan orang-orang
zaman dahulu kala melingkar dan melihat aduan ayam di lapangan itu. Pasti ramai
sekali.
Pohon Keramat (Foto Kang Alee) |
Satu hal yang paling menarik di Panyambungan
Hayam adalah pohon bungur yang memiliki tonjolan pada salah satu sisinya. Konon,
jika seseorang dapat berjalan dari tepi lapangan hingga berhasil menyentuh
tonjolan itu sambil menutup mata, maka keinginannya akan tercapai.
Jika belum tercapai, bisa melingkarkan tangan memeluk pohon. Semakin dekat
jarak tangan kiri dan tangan kanan saat memeluk, semakin dekat pula tujuan yang
akan kita capai.
Situs berikutnya batu Lambang
Peribadatan. Mungkin ada hubungan dengan cara ibadah zaman kerajan hindu
dahulu. Batu Lambang Peribadatan berupa batu berbentuk bujur sangkar. Ada
pahatan bulat di atas bujur sangkar, mirip puncak candi. Pantas disebut lambang
peribadatan. Batu itu diduga bagian dari puncak candi agama Hindu.
eberapa meter dari Lambang Peribadatan, saya dan rombongan menuruni
tangga dan menemukan bangunan seperti tempat pemandian umum. Tempat tersebut
yang dinamakan Cikahuripan, yaitu
pertemuan Sungai Citanduy dan Sungai Cimuntur. Ada sumur yang konon tidak
pernah kering sepanjang tahun. Beberapa teman mencoba mencicipi kesegaran air
sumur yang sudah tersedia di bak. Rasanya, tentu saja tidak jauh berbeda dengan
air pada umumnya.
Batu Penyandaan (Foto Kang Alee) |
Batu Panyandaan dan
Pamangkonan
Saya dan rombongan berjalan ke arah timur dari Cikahuripan menuju Batu Panyandaran. Pada Situs Batu
Panyandaran, ada susunan batu berbentuk segi empat yang memagari beberapa batu
besar di tengahnya. Batu di tengah itu mirip tempat duduk yang bersandar. Situs
itulah yang dinamakan Batu Panyandaan.
Menurut pemandu, di tempat inilah Ciung Wanara dilahirkan oleh Dewi
Naganingrum, kemudian dibuang ke sungai Citanduy. Dewi Naganingrum konon
bersandar di sana selama 40 hari untuk memulihkan tenaga. Maka dari itulah
tempat itu dinamakan Panyandaan yang artinya tempat bersandar.
Tidak jauh dari situs Panyandaan, terdapat Situs Pamangkonan. Terdapat batu yang disebut Sanghyang Indit-inditan.
Batu itu ditemukan di Sungai Citanduy. Konon batu Sanghyang Indit-inditan itu
dapat berpindah tempat sendiri, makanya diberi nama batu Indit-inditan.
Selain itu, batu tersebut juga memiliki kekuatan gaib sehingga
dipergunakan untuk seleksi prajurit. Hanya orang terpilih saja yang bisa
mengangkat batu tersebut. Ada beberapa temen yang mengangkat, katanya sih, agak
berat.
Makan Adipati Panaekan (Foto Kang Alee) |
Makam Adipati Panaekan
dan Patimuan
Makam Adipati Panaekan menjadi tujuan saya dan rombongan berikutnya. Makan
seorang Adipati harusnya megah, tapi ini hanya susunan batu dengan dua nisan
sejajar, menghadap ke arah kiblat. Sangat sederhana.
Adipati Panaekan adalah Raja Galuh Gara Tengah yang berpusat di Cineam.
Adipati merupakan gelar yang diberikan oleh Sultan Agung Raja Mataram. Adipati
Panaekan dibunuh oleh adik iparnya sendiri karena masalah perebutan kekuasaan.
Jenazahnya dihanyutkan ke Sungai Cimuntur. Orang-orang yang menemukan jenazahnya
kemudian menguburkannya di dekat Sungai Cimuntur. Konon, bupati pertama Ciamis
berasal dari garis keturunan Adipati Panaekan.
Tempat Sabung Ayam (Foto Kang Alee) |
Tak terasa waktu begitu cepat bergulir, saya dan rombongan tiba di situs
terakhir Situs Patimuan, yaitu
pertemuan Sungai Citanduy dengan Sungai Cimuntur. Patimuan berupa tanah lapang
di tepi sungai. Di sinilah, Aki
Balangantrang menemukan Ciung Wanara yang masih bayi. Penemuan itu
sesuai dengan keinginan Dewi Naganingrum yang ingin Ciung Wanara selamat dari
ancaman Raja Bondan yang bermaksud menghabisi Ciung Wana guna mengamankan
kekuasaannya.
Sambil melepas lelah dengan duduk-duduk di tepian sungai, saya memandangi
air sungai yang mengalir deras. Air yang mengalir memiliki dua warna, keruh dan
bening. Konon itu menjadi salah satu keajaiban sungai tersebut.
Setelah cukup beristirahat, saya dan rombongan keluar situs dan menikmati
Nasi Timbel. Selama makan siang, pikiran saya melayang pada Ciung Wanara yang
dengan gagah berani menuntut haknya sebagai seorang pangeran. Sungguh, cerita
yang sangat heroik dan banyak hikmahnya. Ah, andai ada mesin waktu, ingin
rasanya memutar masa dan bertemu dengan Ciung Wanara.
@KreatorBuku
Previous article
Next article
Seneng banget kalo wisata sejarah itu. Sebenarnya kita tuh kaya akan budaya dan sejarah
BalasHapusmudah-mudahan situs-situs bersejarah ini tetap dilestarikan ya kang. :D
BalasHapusKe Situs ini baiknya malam hari. Kalau siang hari terasa biasa saja. Di malam hari baru ngeri-ngeri sedap ^_^
BalasHapusMantap ciung wanara sy pernah kesana sama anak istri sayang gk masuk k dlm cuma d luar soal ny gk ada yg masuk
BalasHapus