Siapa Bilang Generasi Milenial Tidak Tertarik dengan Koperasi?
Menurut survey, 60% Generasi Milineal tidak tertarik
dengan koperasi.
Padahal, sejatinya konsep koperasilah yang paling
tepat untuk mendorong Generasi Milenial menjadi milyader di era digital seperti
sekarang ini.
Gusbud (koperasi.net. 14/5/ 2018)
DAHULU,
ketika pertama kali koperasi digulirkan Mohammad Hatta atau Bung Hatta,
tujuannya tidak lain untuk kemerdekaan perekonomian di bumi pertiwi tercinta
ini.
Bung
Hatta bercerita dalam buku otobiografinya yang berjudul Bukittingi-Rotterdam
Lewat Betawi, beliau dengan Samsi –sang kawan yang juga ahli perkoperasian,
pada pertengahan tahun 1925 pergi ke Negara Skandinavia; Denmark, Swedia, dan
Norwegia untuk belajar koperasi pertanian, koperasi konsumsi, dan koperasi
perikanan.
Dari
perjalanan tersebut Bung Hatta yakin, ekonomi rakyat Indonesia harus bertumpu
pada koperasi karena koperasi membuat rakyat belajar berdiri sendiri berdasarkan
self-help dan oto-aktivita.
Ide
dasar koperasi yang dikemukakan Bung Hatta sangat jelas, koperasi adalah usaha
bersama yang berdasar kekeluargaan. Karena dasarnya kekeluargaan maka dalam
koperasi tidak ada dikotomi antaranggota.
Kini,
hampir satu abad koperasi menjadi tiang penyangga perekonomian di Indonesia. Meski
terus melakukan perbaikan, upaya tersebut sangat pantas untuk diapresi.
Terlebih lagi selain pemerintah, banyak pihak swasta yang mendukung.
Masalahnya,
saat ini ada beberapa pihak yang tidak yakin jika Generasi Milenial tidak
tertarik dengan koperasi. Mereka menganggap koperasi jadul, out of date,
dan alasan-alasan lainnya. Padahal masa depan koperasi Indonesia ditentukan
oleh Generasi Milenial.
Lantas
pertanyaannya, apakah benar generasi Milenial tidak tertarik dengan
koperasi?
Generasi
Milenial dan Gaya Hidup
Generasi
Milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1980-2000an. Mereka spesial karena sangat berbeda dengan generasi
sebelumnya. Mereka lahir pada saat televisi sudah berwarna, handphone sudah ada
digenggaman setiap orang, dan internet sudah mudah diakses. Tidak heran, mereka
sangat mahir dalam teknologi.
Informasi
yang saya dapat dari buku Profil Generasi Milenial Indonesia yang
dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan
Badan Pusat Statistik, dari 255 juta penduduk Indonesia, tercatat 81 juta
merupakan Generasi Milenial.
Ciri
lain dari Generasi Milenial, gaya hidup mereka identik dengan kehidupan modern
dan serba praktis, termasuk dalam kehidupan ekonominya. Mereka lebih suka
menggunakan kartu debit, kartu kredit, dan uang digital dibanding tunai.
Potret Generasi Milenial (foto Ali) |
Menurut
survei yang dilakukan Visa Worldwide, 70% Generasi Milenial sudah
meninggalkan pembayaran tunai. Survei ini dilakukan terhadap 5000 remaja gen Y
yang berusia 18-28 tahun di 11 negara Asia Pasifik, Timur Tengah, Afrika, dan
Indonesia. Kartu kredit dan debit menjadi alat pembayaran favorit di Afrika
Selatan dan Korea.
Karena
meninggalkan uang tunai, kehidupan mereka bergantung dengan gedget dan
internet. Mereka lebih resah ketika handphone ketinggalan di rumah
daripada ketinggalan dompet.
Koperasi
dan Generasi Milenial
Dalam
kurun waktu kurang lebih sepuluh tahun ke belakang, seiring dengan mudahnya
akses internet dan semakin murahnya gedget, semakin menjamur pula Olshop atau online
shop.
Mereka
berlomba-lomba menarik penjual (sebagian besar UKM) yang tersebar di seluruh
nusantara. Mereka berlomba-lomba pula menarik pembeli yang sebagian besar
Generasi Milenial dengan berbagai produk dan promo-promo yang menarik.
Tidak
heran, sejak online shop booming, banyak Generasi Milenial yang dalam
waktu singkat menjadi pengusaha sukses. Sebut saja misalnya di Bandung ada Kripik
Singkong Pedas Maicih yang sangat fenomenal, Kripik Pisang Zanana
yang sudah mendunia, dan makanan lainnya.
Kemudian
di bidang fashion ada Batik Trusmi dari Cirebon, hijup, dan brand-brand
fashion lainnya yang semuanya dimiliki Generasi Milenial.
Generasi Milenial Akrab dengan Toko Online (Foto Ali) |
Menjamurnya
Olshop kemudian diikuti oleh Ojol atau ojek online yang tidak kalah
fenomenalnya. Bayangkan, hanya dengan sebuah aplikasi pengguna dimudahkan dalam
urusan transportasi. Kita cukup buka aplikasi, memastikan lokasi jemput dan
lokasi tujuan, driver langsung datang.
Hebatnya
lagi, hanya berbekal aplikasi ojek online, ratusan ribu drivel di kota-kota
besar di Indonesia kini menggantungkan hidup. Tidak hanya sebagai driver,
mereka juga membelikan dan mengantar makanan yang dipesan pelanggan. Mereka juga
sekaligus menjadi marketing bagi aplikasi tersebut dengan suka rela.
Seiring
dengan semakin banyaknya kebutuhan, aplikasi ojek online pun terus menambah
servisnya. Servis yang memang dibutuhkan Generasi Milenial.
Saat
ini orangtua sangat mafhum jika tiba-tiba anak kesayangannya minta dipesankan
ojek online untuk pulang dari sekolah, tiba-tiba minta beli baju lewat olshop,
atau ketika lapar, memilih makanan yang ditawarkan dalam aplikasi, lalu pesan.
Sekilas
apa yang dilakukan Olshop dengan UKM-UKM di belakangnya, begitu pun yang
dilakukan Ojol dengan driver-drivernya dan para konsumennya biasa saja, padahal
jika melihat ciri-ciri koperasi, mereka telah melakukan praktik koperasi yang
sesungguhnya. Bedanya, mereka tidak menyebut sebagai koperasi.
Kok
bisa mereka disebut sebagai koperasi? Coba tengok apa yang mereka lakukan. Mereka
dengan sadar bergabung dan bergotong royong membangun perekonomian. Mereka
secara sadar ingin saling mensejaterahkan dan saling menguntungkan. Jika sudah
seperti itu, apa bedanya dengan koperasi?
Pilih Menu Makanan Lewat Penyedia Layanan (foto Ali) |
Saya
jadi teringat salah satu tulisan Bung Hatta dalam buku otobiografinya, beliau
menekankan, ketika membangun sebuah usaha berbasis koperasi, tidak selalu
harus berbadan hukum atau mengatasnamakan koperasi.
Dalam
hal ini kedudukan koperasi tidak hanya sebagai sebuah entitas badan hukum
semata, melainkan lebih dari itu berperan sebagai sub sistem ekonomi
bahkan sebagai idiologi ekonomi. Barangkali kalau sekarang lebih dikenal
dengan nama Ekonomi Kolaboratif.
Koperasi
Jaman Now
Pernah
dengar Tokopedia, Gojek, dan Traveloka? Tiga unicorn Indonesia yang sangat dekat dengan
Generasi Milenial Indonesia? Ketiga perusahaan tersebut adalah contoh paling
sederhana bentuk koperasi jaman now, yaitu koperasi digital.
Mungkin
ada yang protes dan menyebut mereka bukan koperasi, melainkan perusahaan
Perseroan Terbatas. Bagaimana kalau kita tengok ciri-ciri usaha dalam bentuk koperasi?
1).
Bersifat Sukarela
Ciri
koperasi yang paling utama adalah sifat keanggotaan yang sukarela. Anggota juga
boleh mengundurkan diri kapan pun sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah
disepakati.
2).
Berasas Kekeluargaan
Koperasi
berasas kekeluargaan, sesuai dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 pasal 2, di
mana koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta
berdasarkan atas asas kekeluargaan.
3).
Non-Kapitalis
Koperasi
bersifat non-kapitalis, artinya pembagian sisa hasil usaha (SHU) tidak
didasarkan dari besarnya modal yang ditanamkan oleh anggota melainkan
berdasarkan jasa yang diberikan anggota kepada pihak koperasi.
4).
Berprinsip Swadaya, Swakerta, dan Swasembada
Koperasi
berprinsip Swadaya, Swakerta, dan Swasembada, maksudnya adalah koperasi
berdasarkan pada prinsip usaha sendiri (swadaya), prinsip buatan sendiri
(swakerta), dan prinsip kemampuan sendiri (swasembada).
5).
Kekuasaan Tertinggi Pada Rapat Anggota
Karakteristik
koperasi yang berikutnya adalah rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi
yang ada dalam struktur koperasi. Rapat anggota biasanya dilaksanakan sekali
tiap tahunnya dan menjadi kekuasaan tertinggi dalam koperasi.
Lima
ciri yang saya ulas di atas, semua dilakukan oleh unicorn yang saat ini
berkembang di Indonesia. Unicorn yang dekat dengan Generasi Milenial. Jika
sudah seperti ini, masih layakkah bertanya benarkah generasi Milenial tidak
tertarik dengan koperasi?
Penutup
Sebagai
penutup tulisan ini, saya hanya ingin menegaskan bahwa sebenarnya Generasi
Milenial sudah menerapkan usaha bahkan menjalankan gaya hidup berbasis
koperasi, hanya saja mereka tidak menyadarinya.
Mereka
hanya tahu, apa yang mereka lakukan dan terapkan selama ini saling memudahkan
dan menguntungkan. Mereka hanya tahu ketika bertransaksi menggunakan aplikasi A
maka akan ada keuntungan berupa diskon atau cashback. Ketika menggunakan
aplikasi B harganya lebih murah dan ketika menggunakan aplikasi C servisnya
memuaskan.
Sekarang,
pekerjaan rumah bagi pemerintah dan kita sebagai pelaku koperasi, bagaimana
membuat Generasi Milenial sadar jika selama ini mereka hidup dan menjalankan
kehidupan dengan nilai-nilai koperasi. Sehingga, ke depan mereka tidak lagi
menganggap koperasi jadul, out of date, dan tidak keren.[]
Previous article
Next article
Ya mudah2an semakin berkembang lah perkoperasian di Indonesia ya Kang ����
BalasHapusEh kalau kita bikin koperasi blogger asyik kayaknya kang,...
BalasHapusBoleh juga idenya
HapusTapi setahu aku sepertinya ketiga unicorn tersebut belum koperasi sih kak karena bukan dimiliki bersama, model bisnisnya juga bukan koperasi. Namun, perlu membuat tandingan seperti ini agar milenial turut sadar pentingnya berkoperasi
BalasHapusTapi model bisnisnya, model bisnis koperasi kan?
HapusOh iya ya. Startup termasuk koperasi jika dilihat ciri dan prinsipnya. Saya sebagai generasi Milenial masih kurang tertarik untuk gabung dg koperasi tapi sudah melakukan usaha berasa koperasi. Hehe
BalasHapusIyesss, nggak nyadar ya
HapusMas, yang difoto bersama itu, bukan generasi milenial, lho...Hihihi.
BalasHapusSaya tidak tahu kehidupan di kota besar, kalau di kota kecil dan desa seperti saya, anak dan remaja biasa sengkuyungan bareng tapi tidak dengan cara online. Membangun koperasi juga. Mungkin karena masih sering bertemu muka dan mengerjakan proyek bersama.
Tapi overall, saya setuju bahwa Grab, Toped, dll itu memang menggunakan konsep koperasi dengan wajah berbeda. Dan mereka mengakomodir kebutuhan bersama dengan tujuan meningkatkan ekonomi
Generasi Milenial pada masanya xixixixi
HapusBener sih tahunya anak Milenial tuh koperasi jadul, harus di desa2 gitu. Padahal ya memang kita tanpa sadar sudah menerapkan prinsip2 ekonomi, hanya lebih kekinian saja
BalasHapusIyesss
HapusKoperasi kalau bisa tampil millenial pasti akan lebih mudah untuk disukai oleh generasi muda, yang paling penting prinsip dasar ekonomi dalam koperasi benar-benar di praktekkan
BalasHapusBener banget
HapusWahh iya ya bener juga. Koperasi terkesan jadul dan tidak hype lagi. Tapi nyatanya tanpa disadari kita mengagumi produk2 koperasi di Indonesia
BalasHapusIya ya
HapusWah aku baru tau kalo ketiga start up besar Indonesia itu termasuk koperasi digital. Ternyata ciri dan prinsipnya ya yang bikin mereka bisa dikategorikan sebagai koperasi.
BalasHapusKalau lihat ciri-cirinya sih seperti itu
HapusDulu juga sering banget sih dengar tentang koperasi ini,sekarang emang perekonomian udah lebih berkembang dengan berbagai startup startup gitu ya.
BalasHapusIya Kak
HapusKoperasi selalu cocok buat siapa aja. Di sekolah ada kok... Anak milenial tergabung pasti, ditempat kerja juga ada koperasi. Kantorku juga aktif koperasinya
BalasHapusIya Kak, di kantor juga ada
HapusGak bisa dipungkiri dengan adanya startup seperti yang disebutkan di atas juga telah membuka pintu market yang lebih luas serta tak terbatas, dan tentu membantu meningkatkan kemajuan ekonomi UKM-UKM yang berkarya di wilayah pelosok :)
BalasHapusBener banget Kak
HapusIya bener sih mas, klw koperasi itu identik dengan "jadul".. Tapi pada dasarnya koperasi itu general bisa mencakup mana saja..
BalasHapusTulisan ini kembali membuat aku bernostalgia karena pas SMA dahulu paling rajin jajan di Koperasi Sekolah.
BalasHapusAnd now, Pemerintah memang sudah mulai menerapkan koperasi zaman now. Sepertinya sudah ada konsep koperasi digital yang digagas oleh Kementerian Koperasi & UKM cuma mungkin sosialisasinya masih belum meluas..
Sayang banget ya, kalau informasinya nggak menyeluruh
Hapusmantab ya sekarang beberapa generasi milenial bisa menjadi mitra koperasi salah satunya mitra koperasi tokopedia cukup menarik juga sih project tersebut.
BalasHapusBener banget
Hapus