Cerita
Rahasia Sekeping Logam
Rahasia Sekeping Logam
Oleh Ali Muakhir
Ini untuk pertama kalinya aku berulang
tahun di negeri orang. Tidak ada teman, saudara, atau tetangga sebelah rumah
yang bisa kuajak merayakannya. Ah, tapi tak apa-apa. Aku masih punya Mama,
Papa, dan ...
“Alia!” panggil Usagi, teman
sebangkuku yang selalu menemaniku selama aku tinggal di jepang, “Hari ini kamu
ulang tahun, kan? Selamat, ya! Semoga panjang umur,” Usagi mengulurkan tangan.
“Terima kasih,” aku membalas uluran
tangannya.
Usagi merapatkan mantel putihnya,
begitu juga aku. Musim salju mulai turun. Semua murid memakai mantel tebal. Aku
dan Usagi menuju halte bus.
“Kok, kamu sepertinya tidak bahagia?”
tanya Usagi lagi.
Aku mengedikkan bahu. Aku memang agak
sedih karena tidak ada yang merayakan ulang tahunku. Tiba-tiba mataku tertuju
pada kilauan benda kecil di depanku. Segera kuambil. Owww ... sekeping uang
logam.
“Uang logam tahun berapa?” Usagi
merebut logam itu dari tanganku. “Hebat!” teriaknya tiba-tiba, cukup
mengagetkan. “Li, ini benar-benar hari keberuntungan buat kamu!” lanjutnya.
“Apa maksudmu?” tanyaku tidak
mengerti.
“Menurut orang jepang, kalau kita
menemukan uang logam pada hari ulang tahun, dan tahun pembuatan uang logam
tersebut sesuai dengan tahun kelahiran kita, maka tiga permintaan kita akan
dikabulkan!” jelas Usagi panjang lebar.
Aku tersenyum, “Aku tidak percaya,”
kataku.
“Kamu harus percaya. Tuhan sedang
berbaik hati pada kamu!” Usagi mengembalikan uang logam itu. Kulihat tahun
pembuatannya sama dengan tahun kelahiranku.
“Ayo Alia, sekarang kamu harus minta
sesuatu!” Usagi terus memaksa. aku tidak percaya, tapi tidak apa-apalah.
“Kalau begitu aku akan minta kepada
Tuhan, supaya hari ini ada matahari bersinar!” kataku akhirnya. Beberapa saat
kemudian permintaanku itu benar-benar dikabulkan Tuhan.
“Lihat Alia!” teriakan Usagi, “Lihat!
Matahri muncul di balik awan!”
Ah, aku hampir-hampir tidak percaya.
Matahari muncul di langit sana, padahal sekarang musim salju!
“Betul, kan, apa yang kubilang. Tuhan
sedang berbaik hati sama kamu. Sekarang, coba ajukan permintaan kedua! Ayo,
Alia!” kata Usagi.
“Aku mau hadiah bunga sakura!” aku mengucapkan
permintaan kedua.
Diiin! Diiin! Bus yang aku tunggu
datang.
“Aku pulang dulu, ya! Nanti aku
telepon!” kataku sebelum masuk bus. Usagi mengangguk, lalu melambaikan tangan.
Di dlam bus aku tersenyum sendiri. Apa
benar yang dikatakan Usagi? Ah, aku yakin itu hanya kebetulan saja. mana
mungkin uang logam bisa membawa keberuntungan? Aku tak yakin permintaan kedua
terkabul.
“Stop!” teriakku sampai di depan
rumahku.
“Cepat masuk Alia!” kata Mama begitu
pintu dibuka. Sepertinya sebentar lagi akan ada badai salju.
Aku mencium tangan Mama lalu masuk ke
kamar. Sekali lagi aku terkejut. Di kamarku sudah ada beberapa tangkai bunga
sakura.
“Itu bunga dari Tante Irma. Tadi dia
ke sini,” Mama menjelaskan.
Ya Tuhan ... Usagi benar! Aku menuju
telepon dan memijit nomor telepon Usagi. Kebetulan ia sudah sampai di rumah.
Aku ceritakan permintaan keduaku itu.
“Sekarang apa permintaan terakhir
kamu?” tanya Usagi.
Aku garuk-garuk kepala, “Aku ... aku
tidak tahu.”
“Begini saja, bagaimana kalau kamu
minta pada tuhan agar hasil ulanganmu selalu yang terbaik!” usul Usagi beberapa
saat kemudian.
“Ah, kamu ada-ada saja!” tolakku.
“Ini kesempatan baik Alia!”
“Tidak! Itu nanti akan membuatku malas
belajar!”
“Tapi ...”
Sekitar seperempat jam aku berdebat
dengan Usagi. Hingga akhirnya aku dan Usagi bertengkar. Usagi membanting
telepon. Aku juga membanting telepon.
“Ada apa sih?” tanya Mama melihat
kelakuanku. “Tidak baik membanting-banting telepon!”
“Habis Usagi duluan,” gerutuku.
“Memangnya ada apa?” tanya Mama lagi.
Aku menarik napas sejenak, lantas
menceritakan semuanya. Tentang uang logam itu, tentang permintaan pertama dan
keduaku yang dikabulkan, dan tentang permintaan terakhir yang membuatku
membanting telepon.
“Kamu benar! Meskipun Tuhan sedang
berbaik hati padamu, tapi sebaiknya jangan menuruti permintaan Usagi itu,” Mama
mendukungku.
“Lalu aku minta apa?” tanyaku sebelum
Mama meninggalkanku.
Mama menghentikan langkahnya,
“Bagaimana kalau kamu minta sahabat saja? iya, seorang sahabat sejati!”
katanya.
Sahabat? Ya! Kenapa tidak? Akhirnya
aku minta pada Tuhan supaya diberi seorang sahabat sejati. Aku lalu masuk
kamar, mengganti pakaian, lalu menuju meja makan. Aku barus saja menyiapkan
piring ketika bel berbunyi. Kudengar Mama membuka pintu.
“Alia! Coba kamu lihat, siapa yang
datang,” kata Mama.
Aku menoleh. Usagi?!
Usagi tersenyum, mendekati tempat
dudukku dan mengulurkan tangan, “Maafkan aku, ya! Aku ...”
Aku menggeleng-geleng. Aku tidak mau
mendengar kelanjutkan perkataan Usagi. Aku yakin Usagi menyesali perbuatannya
karena dia seorang sahabat sejati yang dikirimkan Tuhan untukku. Seperti
permintaan terakhirku!
Catatan:
ini cerpen pemenang sayembara menulis
cerpen Bobo tahun 1999
Previous article
Next article
Usagi-chan...
BalasHapusO-tanjoubi omedetou.
Seneng banget baca kisah anak-anak yang penuh dengan keceriaan, bahkan untuk hal terkecil sekalipun.
Koin.
wahhh tentang 3 permintaan yang selalu membuat bingung. KAdang kita dipilihan seperti itu juga dan pasti kebingungan mau yang mana. Ahhh sungguh cerita yang punya permintaan ke 3 yang sederhana namun sangat penting, sahabat sejati
BalasHapusSenangnya Alia mendapatkan seorang sahabat ya, Kang. Aku jadi kangen sama sahabat semasa sekolah dulu.
BalasHapusSAhabat memang hadiah yanng terbaik dan tak tergantikan. Sungguh baik saat anak sudah tahu bahwa ia punya sahabat dekat.
BalasHapusSaya tidak tahu apakah sekarang anak masih bisa punya sahabat baik yang baik lagi tulus.
Aduh kok jadi resah.
Sudah bisa bikin Novel nih tulisannya mas. Tapi aku juga pernah baca tentang nemu koin di hari ulang tahun bakalan dapat rejeki.
BalasHapusCeritanya natural sekali, wajar kalau jadi pemenang, aku menantikan cerita2 seperti ini buat anak2 sekarang. Tanpa banyak menyelipkan hal mistis tapi banyak pesan moralnya
BalasHapusWah jangan2 aku baca ceritanya di tahun segitu. Itu emaknya Usagi pasti suka sma kelinci ya Kang hehe :D
BalasHapusANak2 emang suka bertengkar krn hal sepele tapi kmudian baikannya jg cepet ya
uwaaa sederhana dan ngena banget ya buat pembaca yang notabene masih adek2 SD.
BalasHapussederhana, tapi sarat makna
Manis banget ceritanyaaaa! Selama baca aku udah menerka ini kayak cerita anak, ternyata benar pemenang sayembara menulis cerpen Bobo. Keren!
BalasHapusPantesan, waktu pertama baca paragraf pertama, saya seperti sudah pernah membaca kisah Rahasia Sekeping Logam ini. Sepertinya saya pernah baca waktu ikut kelas cerita anak dari Kang Ale, deh!
BalasHapuswah cerpen yang bagus banget, izin copy yaa biar anakku baca...jadi keinget anakku sendiri dia nemu koin 100 rupiah dan merasa bahagia banget
BalasHapusYa ampun, manis banget kak kisahnyaaa, di Bobo lawas ya ini. Bacanya sambil kepikiran kalau aku dapet 3 wishes yg bisa dikabulin, pasti pengin ini itu hihi
BalasHapusSaya ingat pernah baca cerpen ini di Majalah Bobo waktu saya masih muda. Memang menang lomba. Tapi hingga sekarang saya bertanya-tanya, apa inspirasi ceritanya dari cerita barat yang pernah dimuat di Majalah Bobo lawas? Mungkin Bobo tahun 80-an, saya tidak terlalu memperhatikan tahun terbitnya. Dulu saya pernah diberi sepupu saya bundel koleksi majalah Bobo lawasnya. Dan saya ingat sekali ada cerpen terjemahan tentang uang logam ajaib yang ditemukan di hari ultah penemunya dan bisa mengabulkan tiga permintaan. Nama tokoh utama perempuan yang menemukan uang logam itu Zenobia, yang dalam cerpen itu katanya nama itu diambil dari Bible. Dalam cerita itu, sahabatnya laki-laki. Endingnya pun persis. Zenobia meminta agar dia bisa berbaikan dengan sahabat laki-lakinya setelah mereka bertengkar hari itu.
BalasHapusApakah cerpen itu terinspirasi dari cerita itu? Sampai sekarang saya terus penasaran.
mantaps cerpenya mengingatkan masa kuliah dulu saat masih aktif menulis cerpen
BalasHapuskeren banget, memang layak jadi pemenang.
BalasHapus