Fiksi
[Novel Anak] Matahari Kecil -5
[Novel Anak] episode 5
Matahari Kecil
Oleh Ali Muakhir
(5)
Ines teringat waktu masih berusia tujuh tahun. Ines punya
sahabat bernama Windi. Ke mana pun mereka pergi, selalu berdua. Mulai dari
bangun tidur hingga tidur lagi.
"Aku ingin kaya," kata Ines suatu kali. Matanya
menerawang jauh.
"Aku ingin sekolah yang tinggi," kata Windi.
Saat itu, mereka berdua duduk-duduk di pinggir jalan sambil
melihat anak-anak pergi ke sekolah.
"Kenapa ingin kaya?" tanya Windi. "Karena
kalau kaya, aku bisa sekolah yang tinggi, bisa membantu orang yang tidak mampu,
dan baaanyak lagi," jawab Ines sambil membentangkan kedua tangannya.
Windi mengangguk-angguk. Kucir kudanya sampai ikut
bergoyang-goyang.
"Kalau kamu, kenapa ingin sekolah yang tinggi?"
balik Ines bertanya kepada Windi.
Windi menarik napas dalam-dalam, lalu jawabnya,
"Kan, kalau sekolah tinggi bisa jadi orang yang sukses. Bisa kaya. Bisa
punya mobil mewah seperti itu, tuh!" Windi menunjuk mobil sedan yang
kebetulan lewat di depan mereka. Kesenangan mereka memperhatikan apa pun yang
ada di jalan, di depan mereka, terhenti saat seseorang memanggil mereka. Mbak
Sri, Mbak yang membantu Bunda Asma mengasuh anak-anak panti.
"Kalian bandel, ya! Sudan dibilang, jangan main di
depan jalan!" katanya agak berteriak. Mbak Sri memang agak galak, tetapi
dia tetap baik hati. "Kalian dari tadi dicari. Ada orangtua yang sedang
mencari anak asuh!"
Tanpa disuruh dua kali, Ines dan Windi berlari pulang
mendahului Mbak Sri. Mbak Sri hanya geleng-geleng kepala.
Sampai di panti, mereka langsung mandi dan ganti pakaian,
lantas ikut berjejer bersama anak-anak panti lainnya. Bunda Asma selalu
menyuruh anak-anak untuk berlaku sebaik dan sesopan mungkin agar bisa terpilih.
Hal ini sempat mem-buat Ines berpikir. Apa bedanya mereka dengan boneka yang
dijual di pertokoan. Boneka-boneka dihiasi agar bisa punya pemilik, sedangkan
mereka agar punya orangtua. Terkadang mereka harus bermanis-manis atau malah
memasang tampang sememelas mungkin supaya calon orangtua merasa iba.
Tiba-tiba saja Windi berbisik ke telinga Ines, "Kali
ini aku harus kepilih. Aku ingin cepat sekolah," katanya.
Ucapan Windi membuat Ines teringat pada angan-angannya.
Dia ingin kaya, hidup enak, tidak lagi makan seadanya, bisa memakai baju yang
lebih pantas, tidak perlu bekerja.
"Pa, anak ini manis sekali," Ines mendengar
tamu wanita berkata sambil menunjuk dirinya. Lalu dia berbisik, "Iya, kan,
Pa?"
Laki-laki gendut dan berkepala agak botak itu mengangguk,
lalu menunjuk Windi." Dia juga manis sekali," katanya.
Calon orangtua itu kemudian menemui Bunda Asma.
Sepertinya mereka sedang berunding. Tidak lama kemudian, Bunda Asma menemui
Ines dan Windi yang masih berdiri di antara anak-anak panti lainnya.
"Di antara kalian akan dipilih menjadi anak
asuh," kata Bunda Asma sambil berjongkok mengimbangi tinggi badan Ines dan
Windi. "Bunda akan merasa kehilangan, tetapi Bunda yakin, ini yang terbaik
buat kalian."
"Bunda? Salah satu ...?" tanpa sadar, Ines dan
Windi mengucapkannya bersamaan.
Bunda Asma sampai mengernyitkan kening. "Kami tidak
mau berpisah, Bunda," Ines memberanikan diri terus terang.
Bunda Asma member! isyarat kepada Ines dan Windi untuk
diam, tetapi terlambat. Tamu wanita anggun itu keburu menghampiri Ines dan
Windi. Mereka mendengar keberatan Ines.
"Pa, anak ini tidak mau ikut kita," kata wanita
itu pelan, tetapi masih bisa didengar. "Bagaima-na dengan kamu, Nak?"
tanyanya kemudian kepada Windi.
"Oh, saya akan senang sekali!" Windi men-jawab
disertai binar-binar mata yang tanpa dibuat-buat. Dia benar-benar senang.
Ines terbelalak menatap Windi dengan ber-juta rasa tak
percaya.
"Maafkan aku Ines, aku sungguh-sungguh ingin
sekolah," ujar Windi setelah sepasang orangtua itu pulang. "Aku tidak
akan bisa sekolah dengan baik kalau tinggal di sini terus. Kita ..., kita masih
bisa berteman. Bisa berkirim surat."
Ufh! Mana surat yang kamu janjikan? Jangan-kan surat,
alamat kamu pun aku tidak tahu. Sekarang kamu berada di mana Windi? Ines
membuka matanya, kembali membalikkan badan dan menatap langit-langit kamarnya
yang agak buram. Dia masih tergolek di tempat tidur. Harusnya tempat tidur di
sebelahnya menjadi tempat tidur Windi hinggasaat ini, tetapi... kamu ingin
sekolah hingga melupakan aku.
Begitu menyenangkankah mempunyai orangtua, sampai kamu
melupakan aku? Setelah kita bersahabat sekian tahun, kamu re/a menukarse-mua
itu dengan orangtua serta kehidupan yang baru kamu kenal. Sekarang aku sudah
tiga betas tahun, Windi. Tidak ada pesta, tetapi aku sangat bahagia sekali. Apa
ulang tahun kamu selalu dirayakan? Pasti sangat meriah. Sebelum mata Ines
benar-benar terpejam, dia berdoa semoga suatu saat nanti, Allah
mempertemukannya dengan Windi. Suatu saat, kalau dia sudah menjadi orang kaya.
bersambung ke-6
Previous article
Next article
Belum ada Komentar
Posting Komentar
"Monggo, ditunggu komentarnya teman-teman. Terima kasih banyak"