[Artikel]
10daysforASEAN
AseanBlogger
Mau Jago Nulis dan Jadi Pemenang di Dunia Tulis Menulis? Ikut Kelas Nulis "WinnerClass" aja.
[10daysforASEAN] Singapura Vs Malaysia
Nyi Iteung dan Kang Kabayan
7_#10daysforASEAN
Singapura Vs Malaysia
Menurut ahli
hukum international,
perbatasan wilayah suatu negara berupa garis
imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara dengan wilayah negara lain di
darat, laut maupun udara yang dapat dikualifikasi dalam terminologi
"Border Zone" (zona perbatasan)
maupun
Customs Free Zone (zona bebas kepabeanan).
Kawasan
perbatasan dalam dua terminologi di atas dapat diatur secara limitatif dalam
berbagai perjanjian international yang bersifat "Treaty Contract"
untuk menyelesaikan permasalahan di perbatasan
secara insidentil
maupun yang bersifat "law making
treaty"
untuk
pengaturan masalah perbatasan secara permanen berkelanjutan.
Nyi Iteung dan Kang Kabayan sedang naik kapal Fery
menuju Singapura. Mereka naik kapal karena baru saja selesai acara di Batam.
Daripada balik ke Bandung, mendingan jalan-jalan sebentar.
“Kan lumayan Kang, nggak ngeluarin ongkos pesawat. Mumpung
masih ada waktu,” rajuk Nyi Iteung, sedikit merayu. Membuat Kang Kabayan klepek-klepek.
Tanpa banyak cakap lagi, Kang Kabayan memenuhi
keinginan Nyi Iteung. Batam dan Singapura memang sangat dekat. Bahkan Batam seolah
menjadi halaman depan Indonesia jika lewat pintu Singapura. Jarak tempuhnya
sekitar 35 sampai 50 menit perjalanan dengan menggunakan kapal fery.
Mobilitas antarwarga Batam dan Singapura cukup tinggi,
oleh karena itu banyak pelabuhan resmi yang melalui rute Batam–Singapura. Tingginya
mobilitas mereka pun ternyata berdampak positif, salah satunya adalah meningkatkan
aktivitas perdagangan kedua kawasan. Sebagian besar ekspor dari Batam melalui
Singapura. Selain itu, banyak warga Singapura yang membuka pabrik serta
properti lainnya seperti hotel dan resor di Batam.
Visual dari Blog Ini |
“Kalau semua wilayah di ASEAN seperti antara Batam dan
Singapura yang adem ayem dan tidak mempermasalahkan batas wilayah enak sekali
ya, Kang Kabayan,” kata Iteung tiba-tiba sambil merebahkan kepalanya ke bahu
Kang Kabayan.
Nyi Iteung teringat konflik yang pernah dialami
Indonesia dengan Malaysia, yaitu sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, yang tak
lain dan tak bukan karena kurang jelasnya perbatasan. Beruntung masalah
tersebut diselesaikan oleh Indonesia dan Malaysia dengan cara damai.
Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional
untuk menyelesaikannya. Dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah
pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB. Sengketa disebabkan adanya
ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris di
perairan timur Pulau Borneo. Akibatnya, pada saat Indonesia dan Malaysia
berunding menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo, masalah ini
muncul. Kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua
negara, namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara
sepakat untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Mahkamah Internasional.
Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam
persidangan di Mahkamah Internasional.
Mahkamah Internasional kemudian memutuskan bahwa
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik Malaysia atas dasar
prinsip okupasi, di mana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih
banyak melaksanakan efektifitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.
Apa Indonesia kecewa? Tentu saja kecewa, akan tetapi
karena telah diputuskan oleh Mahkaman International maka Indonesia harus legowo menerima keputusan tersebut.
Selain dengan Indonesia, Malaysia juga bersengketa
dengan Singapura, terutama pada pulau yang berada pada pintu masuk Selat
Singapura bagian timur. Ada tiga
pulau yang dipersengketakan, yaitu Pedra Branca atau dikenal sebagai Pulau Batu
Puteh, Batuan Tengah, dan Karang Selatan.
Persengketaan yang
dimulai tahun 1979, telah diselesaikan oleh Mahkamah Internasional tahun 2008,
dengan menyerahkan Pulau Pedra Branca kepada pemerintahan Singapura. Namun dua
pulau lagi masih terkatung-katung. Malaysia sendiri masih kurang menerima
keputusan Mahkamah International akan Pedra Branca, sehingga kerap terjadi
perselisihan antar masyarakat.
Visual dari Blog Ini |
Salah satu dari tiga pilar pokok yang menyokong
suksesnya Komunitas ASEAN 2015 adalah Komunitas Keamanan ASEAN, yang mencakup pembangunan
politik, pembentukan norma pergaulan kawasan, pencegahan konflik, penyelesaian
konflik, dan pembangunan damai pascakonflik. Dalam hal ini, keamanan diartikan
sebagai kerja sama politik dan keamanan.
Dengan elemen-elemen tersebut, diharapkan kelak
komunitas mampu mengatasi segala permasalahan yang bersinggungan dalam hal
keamanan yang terjadi dalam wilayah
ASEAN dengan damai, sehingga ASEAN bisa menjadi satu kesatuan wilayah yang
kokoh.
Persengketaan suatu pulau sebagai upaya penegakan
kedaulatan tentu saja akan menimbulkan pro dan kontra. Para pihak, khususnya
mereka yang tidak mempunyai dasar hukum yang kuat biasanya lebih memilih
cara-cara penyelesaian dengan mencari kesepakatan, baik secara bilateral atau
multirateral. Akan tetapi, bagi pihak yang mempunyai dasar hukum yang jelas, lebih
memilih penyelesaian lewat jalur pengadilan internasional.
Jika melalui musyawarah bilateral atau multikultural
tidak sepakat, bisa jadi akan timbul perang. Padahal, jika dihitung secara
material, bisa jadi penyelesaian lewat jalur pengadilan internasional jauh lebih
baik, lebih murah jika dibandingkan dengan cara-cara kekerasan, seperti
penyelesaian lewat perang.
Tidak sedikit para pihak justeru cenderung memilih
jalan kekerasan ketimbang mencari jalur kompromi. Mereka lebih suka dibakar
oleh semangat penegakan kedaulatan secara emosional. Terlebih lagi kalau ada
masalah politik di dalam negerinya sendiri.
Apa yang pernah terjadi antara Indonesia dengan
Malaysia harusnya menjadi salah satu contoh bagi negara-negara lain yang berada
di ASEAN, jika terjadi sengketa. Penyelesaian sengketa yang akhirnya
diserahakan kepada Mahkamah Internasional hakikatnya merupakan keberhasilan
diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia.
Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan
memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara. Menyerahkan persoalan
ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu
model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang
masih cukup banyak terjadi, seperti antara Malaysia dan Singapura dengan Pulau Batu Puteh, Batuan Tengah, dan
Karang Selatan.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme
penyelesaian konflik yang pernah terjadi dengan Sipadan dan Ligitan adalah
tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN.
ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat
minim berperan dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai
persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan.
Padahal ASEAN telah merancang terbentuknya Dewan Tinggi
(High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan bertugas memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial.
Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan
hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat kekalahan Indonesia dari Malaysia memang
menimbulkan dampak domestik yang luar biasa, banyak yang menganggap Departemen
Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan, seharusnya Deplu mampu
mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomatif.
Akan tetapi, bukan hal yang bijak jika menyalahkan Deplu
sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan,
mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat
dasawarsa.
Kedua negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik
formal maupun informal, secara bilateral maupun melalui ASEAN sejak tahun 1967.
Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis
terhadap klaim mereka masing-masing.
Pada
tanggal 31 Mei 1997 pemerintah Indonesia menyerahkan persengketaan ini ke Mahkamah
Internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara
kawasan dan penyelesaian dengan cara damai.
“Nyi, bangun, sudah sampai. Jadi jalan-jalan keliling
Singapura, nggak?” Kang Kabayan menepuk-nepuk pipi Nyi Iteung dengan lembut
yang ketiduran di bahunya.
Nyi Iteung langsung bangun, “Eh, jadi atuh Kang,”
ujarnya sambil membetulkan kerudungnya yang sempat melorot. ***
Mau Jago Nulis dan Jadi Pemenang di Dunia Tulis Menulis? Ikut Kelas Nulis "WinnerClass" aja.
Previous article
Next article
Belum ada Komentar
Posting Komentar
"Monggo, ditunggu komentarnya teman-teman. Terima kasih banyak"