Zakat Fitrah by Nada Firdaus

Tidak terasa lebaran telah tiba. Setiap masjid mengumandangkan suara takbir. Tidak terkecuali masjid di dekat rumah. Saat saya akan ke masjid untuk ikut takbiran Ayah memanggil.
“Ada apa Yah?” tanya saya.
“Jangan lupa zakat fitrahnya,” jawab Ayah.
“Ayah saja yang kasih,” kata saya.
Ayah tersenyum, “Sayang. Kmaren sudah diajarin niat zakat fitrah kan di masjid?” tanyanya kemudian.
Saya mengangguk.
“Terus kenapa Ayah yang kasih zakat fitrah Kakak?”
Saya terdiam cukup lama. Saya teringat kata Pak Ustad waktu ngaji kemarin. Zakat fitrah itu wajib bagi setiap muslim. Zakat fitrah dikeluarkan malam idul fitri. Kalau lewat berarti bukan zakat fitrah.
“Yah, bagaimana kalau nunggu yang datang ke rumah?” kata saya karena tidak tahu mau kasih ke siapa. “Kan suka ada yang datang ke rumah minta-minta,” lanjut saya.
Ayah bernapas sejenak sambil mengikat beberapa plastik berisi zakat fitrah milik Bunda dan adik-adik.
“Kakak, sebaiknya zakat fitrah itu diberikan langsung sama orang yang membutuhkan. Bukan sebaliknya. Orang yang membutuhkan disuruh ke rumah,” Ayah menjelaskan.
“Kenapa begitu?”
“Karena zakat ini untuk membersihkan diri kita sayang bukan untuk membersihkan orang yang menerima zakat.”
Saya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Ayah. Berarti orang-orang kayak yang suka bagi-bagi kupon zakat salah dong, kata saya dalam hati. Kalau lebaran sering lihat di berita seperti itu. Orang kaya menyuruh fakir miskin datang ke rumah dibagi zakat. Bahkan ada yang sampai pingsan.
Ah, saya tidak mau seperti itu kalau jadi orang kaya. Saya mau mendatangi fakir miskin kalau begitu.
“Bagaimana? Kakak sudah tau, siapa orang yang mau dikasih zakat dari Kakak?” tanya Ayah lagi.
“Zakat-zakat ini mau dikasih ke siapa?” saya balik bertanya.
“Bunda mau kasih sama Bi Nah, yang suka bantuin nyuci baju. Punya adik-adik Kakak mau ayah kasih sama Pak Rozak yang suka jualan kangkung. Kalau punya Ayah mau ayah kasih ke masjid.”
Tiba-tiba saya teringat Imam. Teman main yang rumahnya di pojokan kompleks. Sejak bapaknya meninggal, dia suka menyendiri. Saya lihat dia jarang jajan. Baju sekolahnya juga warnanya sudah memudar. Apa dia boleh dikasih zakat fitrah?

“Ayah tahu Imam, nggak?” kata saya akhirnya.
“Imam yang mana?”
“Yang ayahnya meninggal udah lama. Rumahnya di sana,” saya menunjuk arah rumah Imam.
“Oh, anaknya almarhum Pak Setyo?”
Saya mengangguk dengan sungguh-sungguh.
“Apa dia layak Kakak kasih zakat?”
Ayah terdiam. Memperhatikan saya dengan sungguh-sungguh. Lalu tanyanya, “Apa yang membuat Kakak yakin Imam layak dikasih zakat?”
“Karena Imam anak yatim. Saya lihat dia jarang jajan. Kan bisa aja Ibunya tidak punya uang kan? Berarti berhak menerima zakat,” jawab saya sambil tersenyum lebar.
Ayah tersenyum lalu mengacungkan jempolnya.
“Kalau begitu bawa zakat Kakak ke rumah Imam. Bilang, ini zakat dari Kakak, mudah-mudahan bermanfaat. Jangan lupa niatnya, ya.”

Saya mengangguk. Sebelum pergi saya mencium tangan Ayah. Selama berjalan menuju rumah Imam, suara takbir terus berkumandang. Indah sekali rasanya.***
Previous article
Next article

4 Komentar

"Monggo, ditunggu komentarnya teman-teman. Terima kasih banyak"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel