Mengembalikan Public Relation kepada Manusia
Pernah
nggak, merasa kesal saat menerima balasan otomatis dari pesan singkat yang
dikirim pada nomor layanan masyarakat, yang balasannya sangat formal, bahkan cenderung
tidak memberikan solusi?
Pernah
nggak, merasa kesal saat mengirim komplain dari produk yang kita beli ke sebuah
nomor layanan, yang bukannya membalas, malah hanya ceklis satu, tanpa dibaca
sama sekali.
Apa akibat
yang kita rasakan? Selain malas untuk kembali berkomunikasi, siapa pun pasti
akan berpikiran negatif, jika layanan-layanan tersebut hanya servis semata,
tidak benar-benar layanan untuk masyarakat.
Saya pernah
beberapa kali merasakannya, bahkan lebih jauh dari itu. Ketika komplain produk
yang kita beli, dan ternyata tidak sesuai dengan penjelasan produk hanya
dibalas seadanya. Saya duga itu jawaban formal karena pemilik toko sibuk
mengepak jualan atau malah jawaban otomatis.
Sejak itu,
kalau mau beli produk di loka pasar berpikir dua tiga kali. Kalau terpaksa
banget baru beli di loka pasar. Itu pun, pasti di toko resmi produk aslinya. Kalau
tidak mending tidak usah beli.
Digital
Public Relations
Apa yang
pernah saya alami ternyata memang belakangan sering terjadi dalam dunai Public
Relations (PR), terutama sejak terjadi distrupsi di berbagai bidang
pekerjaan atau aktivitas, baik di dunia formal ataupun informal ke dunia
digital.
Banyak aktivitas
PR yang dahulu dilakukan secara manual oleh manusia digantikan mesin. Mulai dari
mesin sederhana seperti balasan otomatis saat berkomunikasi melalui telepon,
pesan singkat, email, atau direct message melalui media sosial seperti
facebook, instagram, atau twitter alias X.
Balasan otomatis
sebetulnya bisa menjadi gerbang awal berkomunikasi yang efektif jika pembuat
pesan otomatis menggunakan bahasa yang singkat, padat, dan dengan mengutamakan humanisme.
Bukan balasan berupa ucapan terima kasih semata. Terlebih saat ini balasan
otomatis sudah semakin canggih, jadi bisa dioptimasi lebih baik lagi.
Hanya dengan
balasan otomatis yang humanis saja penerima pesan akan betah, apalagi lebih
dari itu. Selain humanis, Digital Public Relation juga semestinya
semakin memanusiakan, seperti dalam buku “Digital Publick Relation” yang
ditulis salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi Telkom University, Kang Dudi
Rustandi.
Dalam buku
setebal 244 halaman yang diterbitkan Simbiosa Rekatama Media Bandung tersebut, Abah
Raka –begitu biasa saya panggil mengulas seluk beluk Digital Public Relation.
Pada bagian
awal, Abah memulai buku tersebut dengan penjelasan tentang High Tech High
Touch; Membangun Relasi-Reputasi Melalui Teknologi. Tentang kecanggihan
teknologi yang membuat siapa pun mabuk teknologi.
Teknologi
tidak hanya merasuki simpul-simpul kesenangan, baik kesenangan lahir maupun
batin, melainkan juga telah memeras habis jiwa kemanusiaan, memperhebat
pencarian kita akan makna.
Manusia dibuat
terpesona oleh pernak-pernik permesinannya, bergantung pada kesetiaannya menemani,
ketagihan oleh sajian hiburannya yang tak kenal henti, terkagum-kagum oleh
kekuatan dan kecepatannya, dan dibuai oleh harapan yang disajikannya. (halaman 1).
Selanjutkan Abah
mengurai lebih jauh mengenai Digital Public Relation: Dari Komunikasi Digital
ke PR 0.1 Hingga PR 5.0. Konsep Dasar dan Elemen Digital Public Relation. Pada bagian
ini menurut saya sangat penting karena akan menjadi pijakan awal untuk memahami
apa itu yang dimaksud Digital Public Relation. Bukan apa-apa, supaya tidak
salah memahaminya.
Pada bab-bab
berikutnya, penulis yang menyelesaikan program S1 di Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan program S2 di Pascasarjana
Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung memaparkan semakin dalam tentang
peranan digital dalam dunia ke-PR-an, bagaimana memanfaatkan digital, efeknya,
dan sebagainya.
Bab-bab ini
sangat relevan dengan dunia yang saat ini mengelilingi kehidupan kita, bahkan
ke ruang privasi kita. Bukan hanya untuk menambah pengetahuan, melainkan juga
bisa menjadi alat bagi kita untuk belajar mengoptimalkan dunia digital. Tentu saja,
jika kita memang punya konsen dan bergelut di dunia digital. Jika pun tidak,
tetap akan menambah wawasan.
Akhirnya
Kembali Fitrah
Saya sangat
tertarik pada 3 bab terakhir yang dipaparkan penulis yang saat (saya menulis
ini) sedang menyelesaikan program S3 di Program Studi Ilmu Komunikasi Unpad
Bandung. Salah satunya karena terkait dengan bagaimana dunia PR itu sangat erat
dengan branding.
Siapa pun bisa
membranding dirinya dengan baik jika mampu mem-PR-kan dirinya dengan baik. Sebaliknya,
jika tidak mampu mem-PR-kan dirinya dengan baik, maka yang terjadi sebaliknya. Terlebih
jika cara membrandingnya dengan cara digital.
Tidak heran,
saat ini seseorang bisa sangat mudah menjadi seleb hanya dengan melalui media
sosial. Sangat mudah sebuah tempat wisata dipenuhi pengunjung karena diviralkan
netizen. Sangat mudah pula seorang public figure menjadi bulan-bulanan warga
net karena salah ucap dalam sebuah acara. Semua bisa terjadi kapan pun dan di
mana pun, tanpa sekat, dan tanpa bisa dijegah.
Lantas,
bagaimana supaya Digital Public Relation lebih berdaya? Pada buku ini mengajak
pembaca untuk mengembalikan lagi kepada caranya, yaitu kembali kepada manusia
atau lebih tepatnya, meski pun dilakukan dengan cara digital, cara
berkomunikasinya tetap memanusiakan manusia.
Ada tiga
langkah yang bisa dilakukan. Pertama, meningkatkan koneksi secara daring
dan luring. Kedua, meningkatkan interaksi dengan mengintegrasikan gaya
dan substansi dengan manusia lain. Ketiga, yang terpenting, memperbanyak
relasi yang bersifat manusia ke manusia walaupun melalui teknologi. (halaman
227).
Terima kasih
banyak Kang Dudi, saya jadi banyak mendapat pengetahuan tentang Digital Public Relation
dari buku ini. Saya tunggu buku-buku yang lain dengan tema yang sama, dengan cover
yang lebih nge-pop dan penyajian yang lebih Gen-Z, supaya anak-anak saya juga
bisa ikut baca tanpa mengerutkan kening. []
Belum ada Komentar
Posting Komentar
"Monggo, ditunggu komentarnya teman-teman. Terima kasih banyak"